Oleh: Ani Nursalikah
Di antara bangunan yang paling terkenal adalah Menara Babel. Dibutuhkan ratusan tahun untuk menyelesaikannya.
Herodotus, yang melihatnya berdiri sesaat sebelum hancur, menggambarkannya sebagai piramida tujuh tingkat yang menjulang setinggi 90 meter di langit Babilonia. Tiap tingkat mempunyai warna yang berbeda dan batu batanya disemen dengan aspal.
Menara Babel diselesaikan oleh Nebukadnezar II, raja besar terakhir dari Babel dan salah satu pembangun yang paling luar biasa dalam sejarah. Bagi Nebukadnezar aspal merupakan simbol kemajuan dan kemakmuran.
Aspal tidak hanya dipakai di menara itu, tetapi dalam setiap sudut kehidupan rakyat Babel. Aspal dipakai di jalan, dinding, kamar mandi, jembatan, dan pipa pembuangan.
Di antara prestasinya, adalah pembangunan jembatan di atas Sungai Eufrat sepanjang 120 meter. Dia juga membangun selokan besar yang dilapisi dengan campuran aspal, tanah liat, dan kerikil. Nebukadnezar menjadi orang pertama yang membangun jalan beraspal.
Selain dalam bidang pembangunan, aspal juga menempati peranan penting dalam ekspresi artistik selama perkembangan peradaban di Mesopotamia. Aspal, misalnya, telah dibentuk menjadi wig dan ditutupi dengan lembaran aluminium emas atau tembaga untuk menghiasi patung-patung terakota dan patung batu besar.
Teknik tatahan juga digunakan untuk menghias karakter pada alat tertentu. Misalnya, kecapi kayu yang dihiasi dengan kepala banteng emas dan kambing yang berdiri. Kepala dan kaki kambing yang diukir dari kayu ditutupi dengan lembaran emas dan direkatkan dengan aspal.
Ratusan benda lain yang ditemukan arkeolog dalam beberapa dekade terakhir memberikan contoh penggunaan aspal dalam seni Mesopotamia.
Saat bangsa Mesopotamia memakai aspal dalam jumlah besar, Mesir justru tidak menggunakannya. Perbedaannya karena piramida di Mesir dibangun dari potongan batu besar, bukan dari batu bata yang disusun.
Kapal-kapal di Mesir juga dibuat dari papirus, serat alami yang lebih bisa mengapung dan lebih tahan terhadap air asin. Singkatnya, bangsa Mesir tidak memakai aspal dalam jumlah besar karena bahan baku yang berbeda, begitu pula kebutuhannya.
Namun, sekitar pertengahan abad keempat SM, Mesir mulai mencari sumber baru aspal. Mereka menemukannya di Laut Mati. Setiap tahun potongan aspal seluas 100 meter mengapung di tengah laut. Sehingga, tidak sulit pula mengambilnya.