Rabu 12 Mar 2014 20:37 WIB

Tegaskan Kembali Makna Mampu Berhaji (1)

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Chairul Akhmad
Jamaah haji di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
Foto: Reuters/Amr Abdallah Dalsh
Jamaah haji di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu ketika, seorang sahabat, al-‘Aqra’ bin Habis, bertanya, “Apakah kewajiban tersebut harus dilaksanakan setiap tahun?”

Nabi diam dan tidak menjawabnya. Ketika didesak, Nabi baru menjawab, “Kalau aku jawab, “ya” maka haji akan menjadi wajib setiap tahun dan kalian tidak akan mampu menjalaninya.”

Hadis itu, menurut Dosen Fakultas Syariah, Institut Ilmu Al Quran Jakarta M Ziyad Ulhaq SQ SEi MA merupakan isyarat tentang makna istitha’ah, mampu dalam berhaji. Kewajiban berhaji hanya berlaku bagi mereka yang mampu. Ini seperti tertuang di satu-satunya ayat dalam Alquran, yaitu surah Ali Imran ayat 97.

Dia menyebut, kriteria mampu dalam kajian fikih klasik harus memenuhi sejumlah tolok ukur, yaitu transportasi (wujud ar rahilah), perbekalan yang cukup (wujud az zad), dan situasi yang kondusif (takhliyah at-thariq), serta persyaratan administrasi (imkan al masir).

 

Namun, kata mahasiswa program doktoral di International Islamic University Malaysia (IIUM) ini menilai, dalam konteks perhajian Indonesia, telah terjadi pergeseran makna istitha’ah. Itu tampak dari praktik dana talangan haji yang dijalankan oleh perbankan domestik.

Dari awalnya mampu secara material maupun spiritual, bergeser menjadi mampu mencicil dan melunasi utang. Dia menilai, produk pembiayaan pengurusan haji sebagai terjemahan aktual dari pergeseran makna tersebut, meski niatnya baik, justru meninggalkan banyak masalah.

Penyebabnya, kata Ziyad, tak lain karena produk tersebut menggunakan prinsip gabungan akad qardh dan ijarah yang bila tidak dilaksanakan secara tepat, akan terjerumus pada praktik riba.

Dan, prinsip qardh lebih berorientasi sosial (tabarru’), sedangkan ijarah adalah akad bisnis yang harus didasarkan pada real cost (biaya yang nyata-nyata dikeluarkan) sebagai komponen utama fee (ujrah) dan harus dalam bentuk nominal, jelas di awal, serta tidak boleh dikaitkan dengan jumlah talangan atau pinjaman (qard).

Sementara, ungkap dia, setidaknya ada tiga rujukan fatwa tentang legalitas dana talangan, yaitu fatwa DSN MUI NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang qardh (dana talangan), Fatwa DSN MUI 29/DSN-MUI/VI/2002, dan NO: 79/DSN-MUI/III/2011 tentang qardh dengan menggunakan dana pihak ketiga yang berorientasi bisnis.

Namun, katanya, bank tetaplah bank yang terkadang lebih mengedepankan sisi target bisnis daripada kesesuaian syariah. Dalam praktiknya, pagar-pagar yang sudah ditata oleh fatwa tersebut sering kali di lindas.

Akibatnya, terjebak pada praktik riba. Atas dasar inilah, dia meminta pihak terkait untuk merekonsepsi dan penegasan ulang makna istitha’ah dalam konteks praktik dana talangan tersebut serta kaitannya dengan sistem perhajian di Indonesia. “Jika tidak maka akan terus memicu masalah dan tentunya rawan praktik riba,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement