Kamis 13 Mar 2014 04:01 WIB

Patuh dan Ta’at pada Allah Ala Zahid dan Zulfah

Erick Yusuf
Foto: ROL
Erick Yusuf

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Seorang teman ketika diingatkan oleh kawan yang lain untuk tidak makan dengan tangan kirinya menyanggah dengan berucap, “Darimana logikanya bahwa makan dengan tangan kiri itu salah?”.

Kemudian kawan yang mengingatkan menjawab dari Rasulullah SAW. Dan saya menambahkan dari hadist yang disampaikan Umar ra.

Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian hendak makan maka hendaknya makan dengan menggunakan tangan kanan, dan apabila hendak minum maka hendaknya minum juga dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan itu makan dengan tangan kiri dan juga minum dengan menggunakan tangan kirinya.” (HR Muslim). Dari raut mukanya dirasakan tidak menerima alasan kami, namun mungkin karena tidak mau memperpanjang perdebatan diapun mengalihkan pembicaraan.

Memang Allah memberikan akal dan pikiran kepada kita yang pada hakikat fungsinya adalah untuk mencerna ayat-ayat Allah, mempertegas keyakinan pada-Nya. Bukan untuk justru berbalik menolaknya.

Sebagaimana surat Al Ahzab ayat 36: “Dan, tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan, barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Subhanallah dengan ayat ini seakan Allah ingin menyatakan bahwa apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya terkadang tidak terjangkau oleh akal umatnya. Yakinlah bahwa Allah dan Rasul-Nya selalu menginginkan yang terbaik bagi umatnya. Karena sesungguhnya hanya Allah-lah yang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk kita bahkan dibandingkan dengan kita sendiri.

Karenanya keinginan kita tidaklah dapat mendahului keinginan Allah, dan jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan sesuatu, tidak patut kita mengedepankan keinginan kita dengan menolaknya.

Teringat saya akan kisah Zahid dan Zulfah. Pada zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang pemuda bujangan yang bernama Zahid yang berumur 35 tahun, tinggal di Suffah masjid Madinah. Kemudian Rasulullah SAW menyuruhnya untuk segera menikah. Zahid menjawab, “Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku jelek, siapa yang mau denganku ya Rasulullah?”.

Kemudian Rasulullah SAW meminta sahabat untuk membuat surat lamaran kepada wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita.

Ketika surat itu diberikan kepada Said ayah Zulfah, agak terperanjat karena tradisi bangsa Arab perkawinan selama ini biasanya seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus kawin dengan orang kaya, itulah yang dinamakan SEKUFU.

Dan ketika Zulfah datang, dia berkata “Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya,” kata ayahnya. Di saat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, “Wahai ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya menginginkan aku, aku tak mau ayah!” dan Zulfah merasa dirinya terhina.

Maka Said berkata kepada Zahid, “Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri kan, bukan aku tidak mau, bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa lamaranmu ditolak.” Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama Rasul?”.

Akhirnya Said berkata, “Ini yang melamarmu adalah perintah Rasulullah.” Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, kenapa sejak tadi ayah berkata bahwa yang melamar ini Rasulullah, kalau begitu segera aku harus dikawinkan dengan pemuda ini. Karena ingat firman Allah: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami patuh/taat”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An Nuur, 24 : 51)

Zahid pada hari itu merasa jiwanya melayang ke angkasa sesampai di masjid ia bersujud syukur. Dikarenakan Zahid tidak mempunyai sedikit pun harta maka Rasulullah menyuruhnya pergi ke  Abu Bakar, Ustman, dan Abdurrahman bin Auf.

Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan perkawinan. Dalam kondisi itulah Rasulullah SAW menyerukan umat Islam untuk menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.

Ketika  Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah siap-siap dengan perlengkapan senjata, Zahid bertanya, “Ada apa ini?”. Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita, maka apakah engkau tidak mengerti?”.

Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, “Wah kalau begitu perlengkapan kawin ini akan aku jual dan akan ku belikan kuda yang terbagus.” Para sahabat menasehatinya, “Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang?”. Zahid menjawab dengan tegas, “Itu tidak mungkin!”.

Lalu Zahid menyitir ayat di surat At Taubah sebagai berikut, “Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At Taubah, 9 : 24)

Zahid ikut peperangan namun akhirnya Zahid mati syahid di jalan Allah. Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik dari pada Zulfah.”

Lalu Rasulullah membacakan Ayat; “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Ali ‘Imran, 3 : 169-170)

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al Baqarah, 2 : 154)

Pada saat itulah para sahabat meneteskan air mata dan Zulfah pun berkata, “Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak bisa mendampinginya di dunia izinkanlah aku mendampinginya di akhirat.”

Subhaanallah bagaimana Zahid dan Zulfah memperlihatkan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya lebih utama dari keinginan mereka. Sudahkah kita mengutamakan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya? Semoga kita termasuk orang-orang yang “Sami’naa wa atho’naa, kami dengar dan kami ta’at!”. Insya Allah siap!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement