Rabu 12 Mar 2014 14:56 WIB

Pemerintah Pecah?

Ilustrasi
Foto: Labourlist.org
Ilustrasi

Oleh: S Sinansari Ecip*

Pada tahun lalu, pengurus harian Majelis Ulama Indonesia (MUI) diterima Presiden SBY. Salah satu ucapan Presiden yang sangat penting dalam pertemuan tersebut kurang lebih adalah, "Urusan halal itu di tangan MUI."

Selain pengurus MUI yang jumlahnya belasan orang, hadir juga dalam pertemuan tersebut ialah Menko Kesra Agung Laksono, Mensesneg Sudi Silalahi, Wamenag Nazarudin Syamsudin, dan Wamenkes. Yakin seyakin-yakinnya, beliau-beliau itu mencatat pernyataan Presiden.

Puluhan tahun yang lalu, baru sedikit orang atau lembaga yang peduli atas makanan dan minuman sehari-hari, halal ataukah haram. Sejak 25 tahun yang lalu, MUI sebagai kemah besar umat Islam Indonesia turun tangan. Warga terbesar bangsa Indonesia adalah Muslim. Mereka dalam mengonsumsi masukan ke dalam tubuhnya memerlukan ketenangan, terutama dalam kaitan menjalankan syariah Islam.

MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) bekerja sama dengan ahli-ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan ahli-ahli agama mulai merintisnya. Dalam kurun waktu yang sudah dilalui, cukup banyak yang sudah dihasilkan. Tanda halal dari MUI banyak dicantumkan pada berbagai kemasan makanan dan minuman. Restoran/warung menempelkan label tersebut.

MUI adalah lembaga swasta, sama sekali bukan institusi negara apalagi pemerintah. MUI dapat bantuan APBN yang sangat sedikit. Uang yang sedikit ini (Rp 3 miliar dalam satu tahun) sudah dipertanggungjawabkan seperti seharusnya. LPPOM-MUI sama sekali tidak mendapat bantuan negara.

Jika LPPOM-MUI memasang tarif tertentu pada perusahaan yang memeriksakan produknya adalah wajar. LPPOM-MUI mempunyai peralatan, keahlian, kantor, karyawan, jasa, dll. Pemasukan keuangannya sudah diaudit secara independen.

Tidak ada kewajiban melaporkan keuangan kepada publik sebab bukan lembaga negara/pemerintah/publik. "Rumah sakit swasta tidak mempunyai kewajiban melaporkan keuangannya kepada publik," demikian kurang lebih ucapan Menag Suryadarma Ali memberikan perbandingan.

Tiba-tiba media massa ramai meributkan proses sertifikasi halal MUI di luar negeri. Apalagi, MUI dituduh menerima uang ratusan miliar rupiah untuk mengeluarkan izin tersebut. Hal tersebut sudah dibantah.

Dalam kaitan itu, MUI tidak terima uang sepeser pun. Produsen daging di luar negeri, misalnya, tidak membayar kepada MUI, tetapi ke lembaga setempat yang mendapat lampu hijau dari MUI. Untuk mendapatkan "lampu hijau", lembaga itu harus didukung komunitas Muslim setempat, ada ahli-ahli syariahnya, dan lain-lain. Berbagai tuduhan yang lain juga dibantah oleh MUI.

Bersamaan dengan itu, DPR dan Kementerian Agama (Kemenag) ramai. Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) bergegas dikerjakan lagi setelah beberapa waktu istirahat. Istilah populernya, mereka sedang kejar tayang karena waktu kerja yang tersisa tinggal berhitung bulan. Inti RUU JPH, antara lain, adalah peran MUI dalam proses penghalalan produk, dihilangkan. Kemenag ingin urusan MUI itu dipindahkan ke Kemenag, tentu saja dengan biaya negara.

DPR ingin menggeser peran MUI tersebut dengan cara lain. Harus dibentuk komisi baru, lembaga independen kuasai negara. Biayanya ditanggung oleh negara. Ini menambah jumlah lembaga sejenis yang kini bertaburan.

Lalu, MUI dikemanakan? Itulah yang belum jelas arahnya. Tentu saja, MUI gundah setelah dituduh dengan berita-berita yang kurang tepat, sekarang diombang-ambingkan pemerintah (dalam hal ini Kemenag) dan DPR.

Situasi menjadi lebih riuh ketika menteri kesehatan (menkes) mengatakan kurang lebih, obat-obatan secara keseluruhannya adalah halal. Menteri yang berganti agama ke bukan Islam ini lupa bahwa apa saja yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut, menurut tatanan Islam pada umumnya adalah makanan/minuman. Tablet obat harus diperiksa kehalalannya.

Bagaimana dengan Presiden? Suaranya tidak terdengar meski sayup-sayup pun. MUI melalui surat beberapa waktu yang lalu mengingatkan mensesneg akan ucapan Presiden SBY yang sangat penting itu. Ucapan presiden yang sangat penting harus ditindaklanjuti oleh bawahannya. Orang hanya menduga, mungkin di lingkaran dekat Presiden, tidak ada tindak lanjut ucapan Presiden karena beliau-beliau sedang sibuk. Masyarakat, apalagi sebagian besar masyarakat (yang Muslim), harus dilayani.

Di Kemenag, apa yang menjadi niat menghilangkan peran MUI sepertinya harus berjalan terus. Apakah wamenag yang hadir dalam pertemuan Presiden SBY dengan MUI tidak melapor ke menterinya? Logikanya, wamen mestilah melapor kepada menteri. Biarlah anjing menggonggong kafilah berlalu. Jadi, ucapan presiden hanya dianggap sebagai "anjing menggonggong"? Ucapan presiden tidak ditindaklanjuti oleh bawahannya.

Dengan demikian, adakah Menag membangkang atau melawan Presiden? Itu sepertinya tidak masuk akal. Akan tetapi, di Indonesia apa yang tidak masuk akal bisa masuk akal. Ataukah Presiden secara diam-diam memerintahkan Menag agar jalan terus? Itu sepertinya tidak masuk akal.

Atau kemungkinan ketiga. Terjadi perpecahan dalam pemerintah. Itu faktual dan bisa masuk akal.

*Wartawan senior dan pengurus MUI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement