REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi
Diskriminasi siswi berjilbab merupakan kekerasan psikis dan mental.
JAKARTA -- Pelarangan jilbab di sekitar 40 sekolah negeri di Bali merupakan pelanggaran berat. Apalagi, menjalankan keyakinan agama termasuk berjilbab merupakan hak setiap warga negara, tak bisa dikurangi siapa pun.
‘’Ini pelanggaran berat karena pelakunya alat negara. Ini human rights crime,’’ kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Kebebasan Berpendapat Rita Pranawati di sela pertemuan dengan Tim Advokasi Jilbab Bali, Selasa (11/3).
Sekolah negeri, kata Rita, merupakan bagian dari negara yang punya posisi netral. KPAI mungkin bisa memaklumi jika pelarangan itu dilakukan sekolah khusus agama. Menurut dia, terhambatnya siswi di Bali untuk berjilbab bentuk diskriminasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan kebebasan berpendapat anak-anak harus dihargai, termasuk mendapatkan perlindungan dari diskriminasi. ’’Jika dengan berjilbab siswi didiskriminasi, ini bentuk kekerasan psikis dan mental.’’
KPAI akan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Bali melalui surat dan telepon. Rita juga mengatakan, tim KPAI bisa juga diturunkan ke Bali. Hak beragama, jelas dia, tak boleh dikurangi. Anak dengan kekurangan fisik saja harus difasilitasi apalagi jilbab.
Terkait nasib korban pelarangan jilbab yang mungkin mendapat intimidasi pascapelaporan ini, Rita mengatakan, mereka akan dilindungi. Jika pun pelarangan ini hanya terjadi pada satu siswi Muslim, itu sudah cukup untuk diusut.
Dalam pertemuan dengan KPAI, Ketua Tim Advokasi Jilbab Bali Helmy al-Djufri menyerahkan data sekolah-sekolah yang melarang penggunaan jilbab dan salinan buku saku siswa SMP 1 Singaraja, Kabupaten Buleleng, yang berisi larangan berjilbab.
Pada Bab I Pasal 2 buku saku tersebut, dinyatakan, khusus perempuan poin (c) Tidak memakai jilbab. Rita mengaku, KPAI belum pernah menerima aduan pelarangan jilbab di sekolah. Menurut Naswardi, dari Pokja Bidang Pengawasan KPAI, persoalan ini jadi fokus lembaganya.
Ini terkait pemenuhan hak anak kelompok minoritas. Muslim merupakan minoritas di Bali yang mayoritas berpenduduk Hindu. Naswardi mengatakan, pelarangan jilbab adalah diskriminasi di lingkungan sekolah dan bertentangan dengan UU Perlindungan Anak.
‘’Aturan sekolah seharusnya merujuk pada aturan di atasnya. Jika bertentangan, itu tidak bisa dibenarkan,’’ kata Naswardi. Ia menjelaskan, dalam konteks ini KPAI berperan sebagai pengawas dan berjanji melakukan pengawasan dengan baik.
Kasus pelarangan jilbab yang menimpa Anita Whardani, siswi SMAN 2 Denpasar, kata dia, hanya bagian kecil dari kasus yang ada. Sekarang ada kasus larangan lagi di sekolah lainnya. Ia menilai, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun wajib melindungi anak.
’’KPAI mempunyai tugas agar itu berjalan dengan baik dan benar,’’ kata Naswardi. Ketua Tim Advokasi Jilbab Bali Helmy al-Djufri menjelaskan, kasus pelarangan jilbab terjadi di banyak sekolah di Bali. Pada Oktober 2013, yang mencuat kasus Anita Whardani.
Anita baru diizinkan menggunakan jilbab pada Januari 2014 setelah tim advokasi datang ke Bali. Sudah sejak SMP Anita memakai jilbab, begitu pula foto di ijazah SMP. Saat masuk SMA, ia diminta melepas jilbabnya.
Karena masuk sekolah favorit, orang tua Anita memintanya mengikuti saja aturan sekolah. Selama dua setengah tahun Anita harus bongkar pasang jilbab saat sekolah. Tim bertemu kepala SMAN 2 Denpasar, forum kerukunan umat beragama, dinas pendidikan, dan DPRD.
Setelah pertemuan itu, ungkap Helmy, Anita diizinkan menggunakan jilbab oleh kepala SMAN 2 Denpasar. ‘’Sebelumnya, guru agama juga memilih mengikuti aturan sekolah. Semacam ada konsensus,’’ kata Helmy.
Di SMAN 2 Denpasar, memang tidak ada aturan tertulis, tetapi kepala sekolah beralasan belum mengakomodasi jilbab dan bukan melarang. Begitu pula sekolah lain. Mereka membuat aturan multitafsir dengan melarang penggunaan tutup kepala atau atribut keagamaan.
Sebenarnya, ada aturan negara yang mengatur seragam bagi siswi berjilbab. Yakni, SK Dirjen Dikdasmen Nomor 100 Tahun 1991. Namun, sekolah di Bali bertameng otonomi sekolah untuk membuat aturan yang bertentangan dengan SK tersebut.
Helmy juga menyayangkan pendidikan agama Islam di Bali sekadarnya. Guru agama Islam masih sedikit sehingga siswa Muslim terpaksa belajar sendiri.