Rabu 12 Mar 2014 09:40 WIB

Mengapa Buya Hamka Membaca Qunut Subuh

Rep: M.Ibrahim Hamdani/ Red: Taufik Rachman
Buya Hamka
Foto: hasanalbanna.com
Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Almarhum Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dikenal sebagai ulama besar yang berwawasan luas dan memiliki pengetahuan tentang Islam secara mendalam.

Buya HAMKA pun dikenal berjiwa besar dan memiliki tingkat toleransi tinggi dalam menghadapi perbedaan pandangan diantara sesama ummat Islam dalam masalah-masalah "khilafiyyah" dan "furu'iyyah".

Salah satu pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Gontor, KH. Imam Zarkasyi, tidak akan pernah bosan bercerita tentang Buya HAMKA, tokoh Muhammadiyah yang juga Ketua Umum (Ketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu.

Bahkan, cerita itu selalu diulang-ulang KH. Imam Zarkasyi ketika para siswa dan guru berkumpul di Balai Pertemuan Ponpes Modern Gontor.

Dikisahkan, suatu pagi Buya HAMKA didaulat menjadi Imam shalat Subuh di sebuah masjid di sebuah kota yang jamaahnya adalah mayoritas warga Nahdlatul Ulama (NU).

Kisah ini tertulis dalam buku berjudul "Wisdom of Gontor" karya Tasirun Sulaiman, tepatnya pada halaman 47. Buku ini diterbitkan oleh "Penerbit Mizania" pada 2009.

"Para makmun dibuatnya kaget dan terkejut. Ada apa? Pada rakaat terakhir, Buya HAMKA dengan fasih dan lancar membaca qunut," tulis Tasirun Sulaiman dalam bukunya.

Para makmum shalat Subuh saat itu, lanjut Tasirun Sulaiman dalam bukunya, mungkin ada yang menduga top leader Muhammadiyah itu akan meluputkan qunut sebagaimana yang menjadi brand orang Muhammadiyah.

Dan ternyata? Terlalu sempit, papar Tasirun Sulaiman dalam bukunya, ketika orang harus hidup dengan dunia yang sudah dia ciptakan sendiri.

"Padahal Tuhan telah menciptakan dunia yang sangat luas, lebih indah dan mempesona ketimbang reka imajinasinya," simpul Tasirun Sulaiman dalam bukunya, halaman 47 - 48.

Selama ini, do'a bacaan qunut dikenal luas oleh publik di Indonesia sebagai ciri khas Nahdlatul U'lama (NU). Namun, hasil penelitian terbaru justru membuktikan Muhammadiyah pun pernah selama berpuluh-puluh tahun mengamalkan bacaan qunut Shubuh.

Kenyataan ini diungkapkan Mochammad Ali Shodiqin, penulis buku: "Muhammadiyah itu NU, Dokumen Fiqih yang Terlupakan," yang juga pemerhati perkembangan Islam di Nusantara. Buku ini diterbitkan Noura Books pada 2014.

Dalam buku itu, Ali menulis tentang pengertian qunut berdasarkan "Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924" halaman 24 - 25, yang tertulis dalam buku karya Ali halaman 124 - 125.

"Dalam Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924, halaman 24 - 25, qunut termasuk dalam "ab'adhus shalah," yaitu sunnah ab'adh dalam shalat dan bukan rukun, sehingga jika ditinggal shalatnya tidak batal," tulis Ali dalam buku karyanya itu.

Sunnah "Ab'adh" ada lima, lanjut Ali, yaitu, 1. Membaca tahiyat awal sesudah rakaat kedua shalat fardhu kecuali shubuh; 2. Duduknya tahiyat awal; 3. Membaca doa qunut pada I'tidal kedua shalat subuh, dan pada rakaat terakhir witir Ramadhan tanggal 16 ke atas.

4. Membaca shalawat sesudah tahiyat awal dan sesudah doa qunut; 5. Membaca "wa 'ala alihi" sesudah membaca shalawat pada tahiyat akhir.

Apabila lupa melakukan sunnah ab'adh itu, papar Ali dalam tulisannya, disunnahkan melakukan sujud sahwi dua kali sebelum salam, kecuali bagi makmum yang imamnya tidak sujud sahwi.

Sujud sahwi ini, ujar Ali dalam tulisannya, juga dilakukan karena ada keraguan atau lupa dalam melakukan shalat, semisal soal jumlah rakaat.

Jadi, pungkas Ali, menurut Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924, yang ditegaskan kembali dengan Himpunan Putusan Tarjih (HPT) 1971, itu tidak mewajibkan qunut, hanya menyunahkannya sebab dulu Nabi pernah melakukannya.

Dengan demikian, simpul Ali dalam tulisannya, Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 dan HPT 1971 tidak menghapus sesuatu kebenaran yang Nabi sendiri tidak memerintahkan untuk menghapusnya. Jadi sejarah adanya qunut pun tidak terhapus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement