Selasa 11 Mar 2014 13:41 WIB

Cerita Islam di Bulgaria (13): Program Unifikasi

Muslim di Bulgaria (ilustrasi).
Foto: www.novinite.com
Muslim di Bulgaria (ilustrasi).

Oleh: Teguh Setiawan

Sebelum perayaan tahun baru 1990, Komite Rakyat untuk Perlindungan Kepentingan Nasional dibentuk untuk memprotes pemulihan nama-nama Turki dan Muslim Bulgaria. Pada 7 Januari 1990, demonstrasi memuncak.

Tiga hari kemudian semua organisasi politik dan sipil menandatangani perjanjian dengan perwakilan minoritas Turki dan Muslim Bulgaria. Isinya, seluruh organisasi politik dan sipil Bulgaria mendukung penggunaan kembali nama-nama Turki dan Arab, tapi tidak boleh ada partai berbasis etnis dan agama. Minoritas Turki dan Muslim Bulgaria setuju.

Perjanjian juga menyebut perlunya pembicaraan antar-semua organisasi sipil untuk mempersiapkan transisi politik dan pemilu demokratis yang bebas. Hanya enam hari setelah penandatanganan perjanjian itu digelar pembicaraan di Sofia.

Partai Sosialis Bulgaria (BSP), ahli waris Partai Komunis Bulgaria, menjadi kekuatan utama. Lainnya adalah Pasukan Demokratik (UDF), dan koalisi sejumlah partai dan organisasi-organisasi antikomunis.

Dalam pembicaraan itu muncul gagasan perlunya perwakilan dari minoritas Muslim Bulgaria dan Turki. Namun, ketika nama Ahmed Dogan disebut layak mewakili minoritas Turki, terjadi adu argument yang sengit. Dogan saat itu baru dibebaskan dari penjara. Tidak jelas apakah negara mengijinkannya berpartisipasi dalam pembicaraan.

UDF mengatakan sangat penting merangkul minoritas, dan tidak mengasingkannya. Akhir Januari 1990, berdiri Gerakan untuk Hak dan Kebebasan (MRF). Pengadilan Sofia menyetujui, dan Mahkamah Agung mengesahkan. MRF terdaftar sebagai kekutan politik dengan target berpartisipasi dalam pemilu, dan mewakili kepentingan minoritas Muslim Turki di Bulgaria.

Pada Pemilu Juni 1990, MRF meraih 23 kursi parlemen, yang membuatnya menjadi kekuatan politik ketiga terbesar di Bulgaria. Namun, MRF tidak memiliki pengaruh pada penyusunan konstitusi yang disahkan 12 Juli 1991. Konstitusi tidak membahas isu minoritas secara lebih komprehensif.

Bahkan konstitusi tidak menyebut minoritas, hanya pernyataan umum dan mengikat bahwa ‘tidak ada pembatasan hak atau hak istimewa berdasarkan ras, kebangsaan, rasa keetnisan, jenis kelamin, dan asal agama.

Saat diskusi penyusunan konstitusi, terjadi perbedaan pendapat di dalam tubuh MRF. Adem Kenen, perwakilan minoritas Turki, menuntut pengakuan resmi secara nasional akan eksistensi minoritas Turki. Tokoh MRF lainnya mengatakan pengakuan seperti itu tidak perlu. Kenan meninggalkan parlemen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement