Kamis 06 Mar 2014 16:00 WIB

Ketua MUI Bali: Izin Berjilbab Jangan Hanya Wacana

Pelajar berjilbab, ilustrasi
Pelajar berjilbab, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Ahmad Baraas

DENPASAR — Kebebasan mengenakan jilbab bagi siswi Muslim pada sekolah-sekolah negeri di Bali diminta jangan hanya sebatas wacana.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali HM Taufiq As'adi meminta semua pihak terkait harus benar-benar memberi ruang bagi mereka yang ingin mengenakan jilbab.

“Kalau ada yang ingin berjilbab ke sekolah, jangan dicari-cari jalan untuk menghalanginya,” kata mantan Kabid Pendidikan Agama Islam (Kapendais) Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali itu kepada Republika, Selasa (4/3).

Taufiq menjelaskan, mengenakan jilbab adalah hak asasi manusia. Bila terjadi pelarangan, berarti melanggar hak asasi seseorang dalam menjalankan keyakinan agamanya. “Melakukan pelanggaran HAM, ancaman hukumannya sangat berat,” kata Taufiq.

Dia menjelaskan, pengenaan jilbab pada sekolah-sekolah umum di Bali sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena sudah ada peraturan dari Kemendikbud.

Menurutnya, pihak Dinas Pendidikan di daerah dan pihak sekolah tinggal menerapkannya. Peraturan itu juga tidak memerlukan penafsiran karena sudah diatur sangat detail, termasuk detail gambar baju seragam.

Karena itu, Taufiq mengusulkan agar pihak sekolah membagikan gambar pakaian seragam yang sudah dibuat dan disebarkan sesuai peraturan menteri pendidikan. “Jangan sebaliknya calon siswa baru digiring untuk menandatangani perjanjian untuk tidak mengenakan jilbab.”

Taufiq mengaku sempat mendengar pendapat agar siswi Muslim di Bali toleran mengikuti pelajar lainnya yang jumlahnya mayoritas dalam mengenakan seragam berlengan pendek dan rok pendek.

Sikap toleran itu seperti yang terjadi di Aceh, siswi non-Muslim juga harus mengenakan pakaian Muslimah. Menurut dia, antara Aceh dan daerah lainnya di Indonesia, undang-undang yang digunakan berbeda.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menurut Taufik As'adi adalah daerah dengan otonomi khusus yang menggunakan UU Nomor 18 Tahun 2001.

Sedangkan, daerah lainnya seperti Bali, NTB, Sulsel, dan Jawa Tengah, menggunakan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. “Jadi, kita ikuti saja UU yang ada. Jangan dihubung-hubungkan dengan yang tidak ada relevansinya,” kata Taufiq.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement