Kamis 06 Mar 2014 09:04 WIB

PII Laporkan Larangan Jilbab

Pelajar berjilbab, ilustrasi
Pelajar berjilbab, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi

Tak semua sekolah negeri di Bali mempunyai guru pendidikan agama Islam.

JAKARTA – Pelajar Islam Indonesia (PII) menyerahkan data sekolah di Bali yang melarang siswinya berjilbab ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Komisi Nasional (Komnas) HAM, Rabu (5/3).  Ada 40 sekolah yang terindikasi melakukan pelarangan.

PII baru menyerahkan daftar 31 sekolah yang melarang baik secara lisan maupun tulisan. Sedangkan daftar sembilan sekolah lainnya masih dalam proses peninjauan. ‘’Data itu dikumpulkan sejak Oktober 2013 hingga Maret 2014,’’ kata Wakil Sekjen PII Helmy al-Djufri.

Penyerahan data merupakan bagian dari audiensi PII dengan Kemendikbud dan Komnas HAM. Secara terpisah Helmy bertemu dengan Direktur Pembinaan SMA Kemendikbud Harris Iskandar dan Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution.

Menurut Helmy, rata-rata sekolah memberlakukan larangan secara lisan. ‘’Karena banyaknya sekolah yang melarang, pertanyaanya sekarang bukan sekolah mana yang melarang, tapi mana yang membolehkan?,'' tanyanya.

Selama ini, jika siswi SMP Muslim ingin tetap berjilbab saat SMA harus pindah, mereka harus pindah sekolah ke Pulau Jawa. Menurut Helmy, setiap tahun PII hanya mengadvokasi siswi Muslim yang ingin berjilbab di sekolah.

PII berharap Kemendikbud menurunkan tim investigasi untuk mengecek langsung ke lokasi. Sebab tampaknya, ungkap Helmy, jilbab di sekolah Bali dinilai tak biasa. Padahal ada aturan yang mengizinkan jilbab berupa SK Dirjen Dikdasmen Nomor 100 tahun 1991.

Helmy mengisahkan kembali soal kasus jilbab Anita Whardani, siswi SMAN 2 Denpasar. Saat SK Dirjen itu ditunjukkan, kepala sekolah SMAN 2 Denpasar mengaku baru tahu hal ini diatur secara nasional. Akhirnya kepala sekolah itu membolehkan jilbab.

Namun, saat didatangi mayoritas kepala sekolah mengatakan otonomi sekolah adalah payung di atas segala hukum. Helmy menduga pelarangan jilbab di Bali bersifat terstruktur. Ia pun mendesak agar pasal 10 ayat 3 SK Dirjen itu dihapus.

Sebab isinya mengaruskan siswi yang ingin berjilbab meminta izin orangtua.Poin ini rawan dimanfaatkan sekolah yang ingin memberlakukan larangan mengadu argumen orang tua dan anak mereka yang ingin berjilbab.

Di sisi lain, terungkap pula tak semua sekolah negeri di Bali mempunyai guru pendidikan agama Islam. Direktur Pembinaan SMA Kemebdikbud Harris Iskandar mengungkapkan pihaknya bersama Dirjen Pendidikan Menengah sudah bertemu dengan Kepala SMAN 2 Denpasar.

Sekolah kini sudah membolehkan siswi Muslim berjilbab.''Izin berjilbab di SMAN 2 ini berlaku seterusnya, termasuk bagi siswi baru. Kita pantau bersama,'' kata Harris. Ia juga menekankan, aturan sekolah tak boleh lebih ketat daripada undang-undang.

Pelajaran agamapun harus diajarkan oleh guru yang sama keyakinan agamanya.Jumlah sekolah yang melanggar perlu didata, karena akan jadi poin evaluasi Kemendikbud. Harris mengungkapkan, selama ini Kemendikbud terhambat otonomi daerah.

Akibatnya, Kemendikbud tidak bisa mengintervensi langsung ke sekolah tetapi tapi harus melalui dinas pendidikan dan bupati. ‘’Kami akan memperjuangkan dengan cara-cara persuasif,’’ kata Harris menegaskan.

Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution kembali menyerukan bersatunya umat Islam di Bali menyelesaikan kasus pelarangan jilbab ini. Ia menuturkan, Pemerintah Kota Denpasar sempat bertanya kepadanya apakah jilbab atau budaya Islam?

Karena itu, ia mengusulkan dialog antaragama yang tak hanya mencakup soal rumah ibadah tetapi juga pakaian atau atribut agama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement