Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Lebih baik tidak menggunakan minyak goreng lebih dari tiga kali.
Siapa yang tidak suka tempe dan tahu goreng saat hujan dan udara dingin? Sebagian masyarakat Indonesia menyukai jenis makanan yang satu itu, baik untuk teman makan nasi maupun camilan. Kita tidak sulit menemukan penjual gorengan di sekitar rumah.
Tetapi, pernahkah terbesit dalam benak Anda dari mana asal minyak goreng yang digunakan. Apakah minyak baru atau minyak bekas yang sering disebut minyak jelantah? Lalu, amankah sering menggunakan minyak jelantah?
Anggota Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak Kementerian Kesehatan Anna Roswiem mengatakan, penjual gorengan sering menggunakan minyak secara berulang-ulang yang sering disebut minyak jelantah. Secara Islami minyak tersebut tidak tayib karena banyak mengandung radikal bebas.
“Banyak zat beracun atau karsinogen yang terkandung dalam minyak jelantah yang digunakan lebih dari tiga kali,” ujar mantan pengurus LPPOM MUI ini. Karsinogen sangat berbahaya bagi tubuh dan dapat menyebabkan kanker.
Selain itu, menurut Anna, minyak mengandung lemak jenuh apabila dipanaskan. Sehingga, dapat menyebabkan batuk baik bagi anak-anak maupun orang dewasa.
Sedangkan, terkait kehalalan minyak jelantah, ada beberapa titik kritis yang perlu diperhatikan. “Biasanya mereka sering mendapatkan minyak goreng hasil pemurnian ulang dari restoran cepat saji dengan harga yang lebih murah,” ujar Anna.
Minyak hasil pemurnian ulang tersebut rentan sekali kehalalannya. Minyak hasil menggoreng makanan di restoran cepat saji disaring dan dibersihkan, baik oleh pihak restoran maupun dilakukan sendiri oleh penjual gorengan.
Kita harus meneliti sumber minyak tersebut dari bahan haram ataupun tidak. “Jika minyak tersebut bekas menggoreng daging babi atau makanan haram lainnya maka jelas haram,” katanya.
Kedua, minyak tersebut pernah digunakan untuk menggoreng daging hewan halal, seperti ayam dan sapi. Tetapi, perlu diketahui benarkah cara penyembelihan daging hewan tersebut.
Selain berdasarkan sumbernya, minyak jelantah tersebut dapat menjadi haram dari bahan tambahan saat proses pemurnian. “Minyak jelantah yang dijual ke tukang gorengan biasanya disaring menggunakan karbon aktif,” ujarnya.
Karbon aktif tersebut perlu diketahui dengan jelas berasal dari tumbuhan atau hewani. Karbon aktif berasal dari tumbuhan jelas halal, tetapi karbon aktif dari hewan dapat berasal dari hewan halal maupun yang haram.