REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hannan Putra
Masih banyak dai yang ikhlas berdakwah.
Sering masyarakat hanya melihat dai-dai yang muncul di layar kaca. Setiap gerak lakunya mendapat sorotan di masyarakat. Seolah, dai yang memiliki ilmu agama yang baik hanya mereka yang akrab muncul pada siaran-siaran televisi.
Dai yang juga manusia kadang melakukan kesalahan. Dai-dai yang kerap muncul di media massa maupun media sosial mudah mendapat 'penghakiman' dari masyarakat jika melakukan kekeliruan.
Namun, sedikit yang menyadari jika masih ada dai yang ikhlas dalam berdakwah. Mereka tak tertangkap sorotan dan gaduhnya media.
Jumlahnya bahkan lebih banyak dibandingkan dai-dai yang tak jarang mampir dalam tayangan infotaintment. Mereka mengabdi dalam sunyi.
Namun, hal itu tak mengurangi semangat menyampaikan ajaran Allah SWT. Mereka dikirim ke pedalaman-pedalaman nusantara. Tak jarang, tentangan dan ancaman jadi menu sehari-hari.
Salah seorang tenaga pengajar di Pondok Pesantren Istiqamah, Walesi, Wamena, Papua, Ustaz Muhammad Habibi, mengatakan, tantangan terbesar berdakwah di Papua adalah adat istiadat yang masih kuat di masyarakat.
Menurut Ustaz Habibi masyarakat setempat masih kuat memegang kepercayaan pada mistis, seperti animisme dan dinamisme.
"Kita ketahui adat istiadatnya (Papua) ini sangat kuat. Berbeda sekali dengan di kampung saya. Itu tantangan terberatnya," tutur Ustaz Habibi kepada Republika, Senin (17/2).
Kendati demikian, hal itu tak menyurutkan semangat dakwah ustaz asal Madura ini. "Kita ingat kembali niat dan motivasi kita datang ke sini (Papua). Kita jauh-jauh ke sini untuk mendakwahkan Islam agar semua orang tahu Islam itu seperti ini," tuturnya.
Menurutnya, opini yang ada di masyarakat Papua terkadang melihat umat Islam dengan pandangan miring. Islam dianggap agama yang rasis dan keras. "Padahal yang diajarkan, Islam itu rahmat bagi seluruh alam," sambungnya.
Namun, Ustaz Habibi bersyukur, kendati masih berpegang kukuh dengan adat istiadat setempat, masyarakat Papua tidak mengganggu kegiatan dakwahnya.
Ustaz Habibi yang telah mengabdi selama dua tahun di Papua mengisahkan belum pernah sedikit pun terjadi bentrokan fisik dengan masyarakat Papua.
"Masyarakat menerima saja. Tidak ada masalah. Paling hanya kesalahpahaman saja dan itu bisa diselesaikan dengan cara berkomunikasi yang baik," tuturnya.
Habibi adalah salah satu dari beberapa ustaz yang dikirim Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar, Makassar. Sebagai bentuk pengabdian di tempat belajar, ia bersedia dikirim ke desa pedalaman.
Sudah dua tahun pula ia mengajar di Pesantren Istiqamah Walesi yang terletak di kaki Gunung Jayawijaya itu. "Biasanya kami ditugaskan dua tahun. Mungkin tak lama lagi saya akan pulang ke Makassar," katanya.
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menerjunkan 50 dai ke pelosok-pelosok. Ketua Kafilah dai DDII Kepri Fauzi Mahbub mengatakan untuk angkatan pertama, 36 dai akan diberangkatkan pekan ini. "Sisanya menyusul bulan depan," ungkap Fauzi.
Para dai tersebut akan ditempatkan di 50 desa yang tersebar pada empat kabupaten di Kepri, yaitu Karimun, Bintan, Lingga, dan Natuna. Sebelum diterjunkan, para dai dibekali selama 10 hari di Tanjungpinang.
Materi pembekalan terdiri dari spiritualitas, fikih ibadah praktis, praktik penyelenggaraan fardhu kifayah, sosiologi dakwah, dan lifeskill dalam bidang pertanian.
Gubernur Kepri Muhammad Sani mengingatkan agar para dai bisa menempatkan dan menyesuaikan diri dengan kultur masyarakat setempat. Ia berpesan agar dakwah dilakukan dengan baik dan santun.
"Beradaptasi dengan budaya setempat, jangan menggurui, jangan memaksakan kehendak. Selalulah rendah hati, sehingga masyarakat bisa menerima," kata Sani.
Memahami kondisi masyarakat dengan segala adat istiadat tidak hanya untuk daerah pedalaman Papua dan Kepri. Hingga ke negara maju seperti Eropa, pemahaman tersebut tetap diperlukan.
Seperti kisah salah seorang dai, Ayang Utriza, yang pernah tinggal di Prancis selama tujuh tahun. Dalam berdakwah, dai muda ini lebih mengedepankan komunikasi yang baik dengan objek dakwahnya.
Opini buruk terhadap Islam di Prancis tidak boleh ditanggapi dengan buruk pula. Namun, seorang dari harus pintar-pintar menjalin komunikasi dan menjelaskan secara relevan kepada masyarakat Prancis.
Ayang membagi para dai di prancis menjadi dua kategori. Ada yang moderat beraliran nasionalis dan ada juga yang ekstrem. "Ada ustaz yang bisa menyesuaikan dengan budaya Prancis," tuturnya kepada Republika.
Para dai yang kaku kebanyakan tidak paham bahasa dan budaya Prancis. Berbada dengan para ustaz yang di Prancis disebut "imam". Umumnya, mereka lahir di Prancis dan mengerti politik dan budaya setempat.
"Contohnya, ada Imam Masjid Bordo bernama Tariq Obru. Beliau ini terkenal sebagai imam yang sangat santun sekaligus nasionalis. Terakhir ia menulis buku tentang profesinya menjadi imam," paparnya.