Sabtu 22 Feb 2014 19:59 WIB

Masjid Raya Bandung, Alami Bernuansa Seni (2-habis)

Masjid Raya Bandung, Jawa Barat.
Foto: Wikipedia.org
Masjid Raya Bandung, Jawa Barat.

Oleh: Mohammad Akbar

Sirkulasi udara dan pencahayaan yang maksimal ini menjadikan suasana di dalam masjid terasa sejuk dan terang. Alhasil, berada di dalam masjid pada malam atau pagi hari akan terasa hawa dingin yang menggigit.

Selain karena pengaruh udara luar, hawa dingin itu juga muncul lantaran lantai masjid ini berlapis marmer. Selain sebagai penutup lantai, marmer juga bersanding serasi dengan batu alam pada dinding di sisi utara dan selatan mimbar.

Kehadiran batu alam itu menumbuhkan nuansa alami pada tatanan interior masjid. Kesan alami ini dipertegas oleh ornamen berupa unsur hiasan nusantara pada bagian mihrab. Ornamen itu hadir dalam motif ukiran bunga yang berpadu dengan kaligrafi Surah al-Fatihah dan syahadat.

“Untuk bagian interior ini memang dirancang dengan ornamen ukiran Islami, tetapi tetap mengutamakan unsur alami serta seni budaya Islami tatar Sunda,” jelas Gilang.

Sentuhan Bung Karno

Sejarah mencatat masjid ini pertama kali dibangun pada 1810. Sejak didirikannya, bangunan ini telah mengalami setidaknya delapan kali perombakan pada abad ke-19, kemudian lima kali pada abad ke-20, sampai akhirnya direnovasi lagi pada 2001 hingga diresmikan dengan nama Masjid Raya Bandung pada 4 Juni 2003 oleh Gubernur Jawa Barat saat itu, HR Nuriana.

Masjid baru ini, yang bercorak Arab, menggantikan masjid lama—bernama Masjid Agung—yang bergaya  Sunda. Pada bentuk awalnya, Masjid Agung Bandung berdinding anyaman bambu, beratap rumbia, dengan tiang-tiang dari kayu. Sekitar

14 tahun kemudian, masjid ini direnovasi. Bagian atap dan dinding diganti dengan bahan kayu. Kemudian, pada 1850 atas instruksi Bupati RA Wiranatakusumah IV, atap masjid diganti dengan genteng dan bagian dindingnya menggunakan tembok batu bata.

Pada lukisan karya pelukis Inggris W Spreat pada 1852, terlihat atap masjid ini berbentuk limas bersusun tiga. Bentuk semacam ini menjadi ciri khas masjid tradisional yang merujuk pada Masjid Agung Demak.

Renovasi cukup besar berikutnya terjadi pada 1930. Kala itu dibangun pendopo dan dua buah menara. Pada 1955, menjelang digelarnya  Konferensi Asia Afrika, masjid ini juga berbenah. Presiden Sukarno langsung memberikan rancangannya dengan mengubah bentuk kubah yang limas menjadi kubah persegi empat menyerupai bawang.

Pada 1970, kubah bawang rancangan Sukarno itu diubah pula menyusul terjadinya kerusakan akibat terjangan angin kencang. Tiga dasawarsa kemudian, masjid ini kembali dibenahi. Kali ini, kubah dibuat setengah lingkaran seperti yang tampak hingga saat ini.

Seperti dikatakan Gilang Nugraha, bentuk kubah yang terlihat sekarang ini terinspirasi dari bentuk kubah Masjid Nabawi. Renovasi juga dilakukan pada bagian atas dua menara. “Kubah dan menara ini dirancang tahan gempa hingga kekuatan sembilan skala Richter.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement