Kamis 20 Feb 2014 09:20 WIB

Membumikan Alquran

Seorang bocah belajar membaca Alquran (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Seorang bocah belajar membaca Alquran (ilustrasi)

Oleh: Nashih Nashrullah

“Jika kalian menginginkan ilmu, maka selamilah Alquran karena di dalamnya terdapat ilmu orang-orang terdahulu dan yang akan datang.” (Abdullah bin Mas'ud RA)

 

Istilah membumikan Alquran bagi publik Indonesia memang terbilang baru mencuat ke permukaan sejak Prof M Quraish Shihab menulis karya monumental pada 1994 dengan tajuk Membumikan Alquran; Fungsi dan Kedudukan wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Kalimat itu lantas populer di kalangan cendekiawan, mahasiswa, dan tak terkecuali para juru dakwah. Membumikan Alquran maknanya mengimplementasikan nilai-nilai luhur Kitab Suci tersebut di kehidupan sehari-hari.

Menempatkan Alquran yang selama ini berada ranah langit an sich, terhenti pada kajian ilmiah, atau sekadar dibaca, tapi keistimewaannya tertahan pada huruf, ritme, dan nada bacaan saja. Tak lebih.   

Namun, sebenarnya usia dari substansi apa yang diperkenalkan Quraish itu cukup tua bersamaan dengan diturunkannya misi yang dibawa Rasulullah SAW. Begitulah tujuan risalah agar nilai-nilai Qurani teraplikasikan dalam kehidupan riil di bumi, bukan mengawang-awang di langit.

Pantas bila Umar bin Khatab RA berkisah, tak pernah satu pun ayat yang sahabat pelajari langsung dari Rasul kecuali telah mereka praktikkan. Hanya saja, Quraish mampu membingkainya dengan apik meski kalimatnya tak terlalu kearab-araban, tetapi tak melenceng dari esensi utama. Begitulah Quraish.

Menurut penilaian Howard M Federspiel dalam Kajian Alquran di Indonesia, putra kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan ini, adalah putra bangsa yang unik. Modal keilmuan yang ia peroleh selama di Timur Tengah menjadi asupan berharga bagi dinamika tafsir di nusantara.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan fenomena kala itu di saat akademisi justru didominasi oleh para alumni kampus-kampus Barat. Keistimewaan ini menempatkannya sebagai nama cendekiawan paling populer dalam Popular Indonesian Literature of The Quran.

Mimpi besar 'membumikan' Alquran itu termanifestasikan lewat berbagai karya yang ia tulis. Dan, sebagian besarnya didominasi dengan corak dan gaya tafsir. Gagasannya itu pun dinilai banyak kalangan sangat novatif, memecah kebuntuan kajian tafsir modern Tanah Air, yang sempat stagnan, bahkan mandek pada 1980-an. Karya-karya monumental belum lagi muncul setelah era tersebut.

Padahal, dalam dekade itu, buah pemikiran beberapa tokoh sempat menggeliatkan kajian tafsir modern nusantara, seperti karya ash-Siddieqy dengan judul Tafsir al-Bayan, Halim Hasan lewat Tafsir Alquranul Karim, dan terakhir pendahulu Quraish di Universtas al-Azhar Mesir, yakni karya Buya Hamka dengan judul Tafsir al-Azhar.

Howard tentu tidak berlebihan menilai sang mufasir itu unik. Apalagi bila melihat potret dan stigma miring yang selama ini disematkan ke wajah para alumni Timur Tengah, tidak produktif dan tak lihai menulis karya ilmiah. Citra itu diperkuat dengan fakta bahwa mayoritas universitas di kawasan tersebut tidak memberlakukan wajib skripsi bagi mahasiswa strata satu.

Namun, memang realisasi mimpi besar Quraish tidaklah mudah. Perlu komitmen dan sinergitas. Konsep Pusat Studi Alquran yang ia dirikan seyogianya bentuk ikhitar sederhana merangkum segala potensi demi terwujudnya mimpi itu. Tentu, akan lebih indah jika gayung bersambut dalam upaya 'membumikan' Alquran.

Di lain sisi, potensi diskursus dan disorientasi pada kajian tafsir, di tengah-tengah arus liberalisme dan radikalisme, cukuplah ada, untuk tidak dibilang besar. Mempertahankan moderasi yang merupakan hakikat Islam terkadang mendatangkan tudingan tak sedap.

Suara sumbang acap kali ditujukan kepada Sang Tokoh. Di satu sisi, masyarakat kian cerdas untuk membaca opsi yang sekiranya tepat tanpa menabrak kesucian naluri mereka. Sementara di sisi yang lain, suara sumbang yang berasal dari 'ketidaktahuan' itu menyisakan kebencian dan tuduhan murahan. Bagi Quraish, butuh proses untuk mendidik umat akan pentingnya kedewasaan berpikir.

Sebab, inti dari mimpi tersebut adalah kepatuhan kepada Tuhan. Tuhan memberikan kebebasan, menginginkan agar dalam kehidupan di dunia terwujud bayang-bayang surga. Bayang-bayang surga itu, menurut Alquran, sandang, pangan, dan papan tercukupi. Dan yang kedua, damai. Biarkan saja, Tuhan berkehendak apa. Tugas seorang hamba adalah patuh.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement