Rabu 05 Feb 2014 12:17 WIB

Adab Hidup Bertetangga (2)

Adab bertetangga
Foto: woodbinefarmersmarket.com
Adab bertetangga

REPUBLIKA.CO.ID, Memang sungguh nikmat jika kita memiliki tetangga-tetangga yang baik ahlak, ramah, dan penuh perhatian. Kendati demikian, kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk selalu bersikap baik, kecuali kita paksa diri kita sendiri untuk bersikap baik terhadap siapapun.

Musik yang bagus berawal dari suara dan tangga nada yang berbeda-beda, namun kalau dipadukan akan menjadi indah. Artinya, kita tidak bisa mengharapkan tetangga-tetangga kita persis sama dengan kita. Bisa jadi perbedaan keadaan tetangga malah memperindah ahlak kita. Ada tetangga yang melimpah rizkinya, ada yang kurang rizkinya, ada yang berkedudukan tinggi, ada yang tidak berkedudukan, ada yang rumahnya di gang sempit (berdempet-dempet), ada yang bertipe menengah, perumnas, atau BTN, bahkan ada yang besar luas sampai tidak tahu tetangga kanan kiri. Ini adalah sebuah simponi yang kalau disikapi dengan niat yang indah, niscaya akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, "Hak tetangga ialah, bila dia sakit, kamu kunjungi. Bila wafat, kamu mengantarkan jenazahnya. Bila dia membutuhkan uang, maka kamu pinjami. Dan bila mengalami kesukaran/kemiskinan, maka jangan dibeberkan, aib-aibnya kamu tutup-tutupi dan rahasiakan. Bila dia memperoleh kebaikan, maka kita turut bersuka cita dan mengucapkan selamat kepadanya. Dan bila menghadapi musibah, kamu datang untuk menyampaikan rasa duka. Jangan sengaja meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya, lalu menutup jalan udaranya (kelancaran angin baginya). Dan janganlah kamu mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kamu menciduknya dan memberikan kepadanya."

Inilah keadaan rumah Rasul, ketika beliau memasak maka tetangga yang mencium bau masakan tersebut ikut mendapat makanan. Namun, yang paling penting, kita melihat bahwa kebahagiaan kita itu bukan soal kita mendapat sesuatu atau tidak dari tetangga. Yang harus kita latih, kenikmatan bertetangga bukan mengharapkan sesuatu dari tetangga, tapi berupaya agar kita bisa berbuat yang terbaik untuk tetangga.

Kita akan tertekan ketika kita berharap banyak. Sebab, yang namanya rizki tidak selalu bermakna apa yang telah kita dapatkan, melainkan apa yang bisa kita lakukan. Jangan sampai gorden rumah kita copot gara-gara terlalu sering melihat tetangga. Makin sering nengokin tetangga, bisa jadi akan semakin menderita, sebab kedengkian kita kepada tetangga tidak akan mempengaruhi rizki tetangga, sebab yang membagikan rizki adalah Allah.

Sialnya jika kita dengki sama tetangga namun tetangga tambah nikmat. Tentu kita tambah menderita. Tetangga makin pulas, kita nggak bisa tidur. Mau keluar rumah susah, mau masuk juga susah. Bagaimana tidak, sosok tetangga yang kita dengkikan itu terus muncul di depan kita.

Maka di sini kita harus mampu mengemas kehidupan bertetangga menjadi ladang amal kita. Kalau kita punya tetangga kaya, sukses, jangan iri hati dan jangan suka mengintip. Apabila tetangga memperoleh kesuksesan atau keluasan rizki, belajarlah senang dengan kesuksesan orang. "Alhamdulillah, dia ternyata sekarang dititipi rizki. Mudah-mudahan barokah, mudah-mudahan bisa banyak manfaat."

Kalau ada tetangga kita yang kekurangan, harus menjadi ladang amal bagi kita. Tidak termasuk orang yang beriman kalau kita kenyang dan pada saat yang sama tetangga kita lapar. Tidak akan miskin dengan menyantuni tetangga. Jika beras cukup, sisihkan sebagian untuk tetangga. Baju bekas anak-anak yang masih layak pakai, kalau belum sanggup memberikan baju bagus, berikan pada anak tetangga. Panci kita sudah agak penyok-penyok, berikan pada tetangga yang membutuhkan, kalau kita belum sanggup memberinya panci yang bagus. Tentu saja, jika mampu, berikanlah barang-barang yang berkualitas terbaik.

Di sinilah sebenarnya hasil ibadah kita akan terlihat, karena alat ukur ibadah kita bukan ketika sedang shalat saja, tapi bagaimana sesudahnya. Misalnya, shalat itu 5 x 10 menit atau 50 menit, dibulatkan menjadi sekitar 1 jam sehari, sedangkan 1 hari 24 jam. Bagaimana mungkin yang 1 jam baik, sedang yang 23 jam jelek semuanya?

sumber : KH Abdullah Gymnastiar
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement