Senin 03 Feb 2014 03:36 WIB

Baitul Arqom Bentengi Akidah Muslim Balung

Salah satu sudut kampus Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Foto: ikpmsidoarjo.blogspot.com
Salah satu sudut kampus Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul

Konsep pesantren mengacu pada sistem dan model Pondok Modern Gontor.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Tanah Air, berkontribusi besar bagi bangsa dan negara. Terkhusus sumbangsihnya terhadap umat Islam.

Pesantren, tak hanya memosisikan diri menjadi pusat pendidikan santri, tetapi juga membentengi akidah masyarakat sekitar  terutama rongrongan akidah. Semangat inilah yang melatarbelakangi berdirinya Pondok Pesantren Baitul Arqam, Balung, Jember, Jawa Timur.

Sejak berdiri, 1 Agustus 1959, kata Wakil Pimpinan Pesantren Baitul Arqom KH Izzat Fahd, kehadiran pesantren ini menjadi jawaban atas keprihatinan umat Muslim akan minimnya lembaga pendidikan Islam yang berkualitas di daerah tersebut.

Dampak kelangkaan lembaga Islam tersebut mendorong warga sekitar menyekolahkan buah hati mereka, di sekolah-sekolah non-Muslim. Meskipun, kata Izzat, mayoritas penduduk setempat beragama Islam.

Kondisi itu memotivasi tiga alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo Jawa Timur, yakni KH Abdul Mu'id Sulaiman, KH Jawahir Abdul Mu'id dan KH Mahin Ilyas Hamim, mendirikan lembaga pendidikan Islam yang bermutu.

Harapannya, bisa menyelamatkan aqidah anak-anak Islam, serta menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam yang menampung semua golongan dalam masyarakat Islam.

Izzat Fahd menyatakan, semangat yang dibawa adalah keinginan untuk mengamaljariyahkan sebagian harta yang mereka miliki. Khususnya, ilmu yang diperoleh ketiga putra daerah Balung tersebut selama belajar di Gontor. “Amal tersebut dituangkan dalam jalur pendidikan,” kata dia.

Realisasinya, ungkap dia, pada 1959 didirikanlah sekolah lanjutan pertama yang diberi nama Madrasah Tsanawiyah Al-Ula. Lembaga ini dirintis KH Abdul Mu'id Sulaiman dan KH Jawahir Abdul Mu'in.

Sedangkan, KH Mahin Ilyas Hamim belum terlibat, lantaran saat itu sedang menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. 

Sepulangnya dari Mesir, Mahin bergabung menopang dakwah kedua saudaranya tersebut. Dia pun lantas didaulat sebagai direktur atas kesepakatan bersama.

Izzat melanjutkan, Pada 1967, sebagai lanjutan dari madrasah tsanawiyah, dibuka lagi tingkat lanjutan madrasah mu'alimin yang kemudian berubah menjadi madrasah aliyah. Selanjutnya, pada 1971, didirikan pula SMP dan pihaknya mendirikan SMA pada 1979.

Keempat lembaga pendidikan itu, sebut Izzat, pada 1975 dihimpun menjadi satu dalam lembaga PP yang bernaung di bawah Yayasan PP Baitul Arqom dengan akta notaritas Nomor 10 dan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jember pada Jum'at 15 Agustus 1975.

Pesantren

Lebih lanjut, Izzat menjelaskan, setelah kondisi memungkinkan, Yayasan mendirikan pesantren. Ini sesuai dengan cita-cita ketiga perintis lembaga di atas. Acuan model dan sistem pesantren mengacu pada konstelasi yang berlaku di Pondok Modern Gontor.

Akhirnya, pada 1986 berdirilah Ponpes Pustra dengan sekolah formalnya Madrasatul Mu'allimin Al-Islamiyah (MMI) dan pada 1989 didirikan sekolah formal putri, Madrasatul Mu'allimat Al-Islamiyah (MMAL).

Penerapan sistem pendidikan modern membuat masyarakat semakin tertarik memasukkan anaknya ke pesantren ini.

Aktivitas pendidikan di lembaga ini cukup padat. Mulai dari pagi menjelang subuh hingga malam hari. Baik yang bersifat formal ataupun informal. Ini ditambah pula dengan ragam pembekalan keterampilan.

Jika pada periode awal, tutur Izzat, jumlah santri berkisar 200 santri, kini jumlah santri Pesantren Baitul Arqom  mencapai seribu orang. “Semuanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia,” tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement