REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- SG, seorang guru madrasah di lingkup Kementerian Agama Kabupaten Bogor harus pasrah. Dia bersama sembilan sejawatnya harus berkali-kali di 'pingpong' setelah gagal lulus Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Ia mengikuti proses PLPG di Universitas Pakuan (Unpak) Bogor.
Dianggap tidak lulus, ia berusaha mencari kejelasan. Universitas Pakuan menjawab, pihak kampus hanya sebagai penyelenggara. Sementara kewenangan ada di Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Dasar (Mapenda) Kabupaten Bogor."Dari Mapenda bilang terserah Unpak, kita ini bingung," katanya akhir pekan lalu.
Ia menambahkan, rekan-rekan sejawatnya yang mengikuti PLPG di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mendapat kesempatan kedua tes. Sehingga semua yang mengikuti PLPG di UPI semua dinyatakan lulus. "Itu juga setelah ramai diprotes," ujarnya.
Guru-guru madrasah non-PNS, ujar SG, berharap besar pada sertifikasi PLPG. Jika mengandalkan penghasilan mengajar Rp 450 ribu per bulan tidak cukup untuk kebutuhan hidup. "Apalagi yang jadi kepala keluarga. Padahal kami semua sarjana," katanya.
Ia juga sempat mengadu ke Kemenag dan Kemendikbud Pusat. Ia mendapat penjelasan rinci soal syarat-syarat kelulusan PLPG. Bahkan jika ada peserta tidak lulus, Kemenag dan Kemendikbud menyarankan agar Mapenda bisa mengatrol nilai PLPG dengan beberapa opsi. "Bisa PLPG ulang atau membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)," ujar guru yang sudah 13 tahun mengabdi di madrasah ini.
Ia mengaku memperjuangkan nasib sertifikasi karena melihat beratnya kehidupan guru madrasah non-PNS. Selain harus mengajar di beberapa sekolah, guru madrasah non-PNS harus pontang-panting bekerja di luar bidang pengajaran. "Kami hanya ingin kejelasan langkah apa agar kami bisa lulus PLPG," katanya.