REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Baraas
DENPASAR -- Masjid di Bali terbilang cukup banyak, tersebar pada sembilan kabupaten dan kota. Untuk membiayai kegiatan operasionalnya, masjid-masjid itu sebagian mengandalkan penghasilan dari kotak amal.
Namun sebagian lagi yang tergolong masjid yang punya asset, menghidupi kegiatannya dari hasil usaha bisnis.
Dua masjid di Denpasar, yakni masjid Baitul Makmur dan masjid raya Ukhuwah adalah dua masjid yang punya kegiatan usaha lumayan.
Walau hasilnya tidak seberapa, namun nasibnya lebih baik bila dibandingkan dengan masjid-masjid lain yang hanya mengandalkan infak dan sedekah.
Kedua masjid itu, sama-sama memiliki lahan yang bangunannya dikontrakkan kepada para pedagang muslim.
Masjid Baitul Makmur berdiri sekitar 1980-an, bersamaan dengan dibangunnya komplek perumahan di kawasan Monang Maning, Denpasar, oleh PT Perumnas.
Saat itu, kata Ketua Yayasan Baitul Makmur, Ir H Sentot Surengrono, PT Perumnas menyediakan lahan masing-masing seluas 1.000 meter persegi untuk mendirikan tempat ibadah.
Tanah yang disediakan untuk ummat Islam sekitar 900 meter persegi, yang kemudian dibangunkan masjid yang diberi nama Baitul Makmur.
Waktu itu jelas Sentot, pemerintah melalui Yayasan Amal Muslim Pancasila menyediakan dana untuk membangun masjid yang memiliki luas lahan minimal 1000 meter persegi.
Karena tanah yang dimiliki Masjid Baitul Makmur hanya 900 persegi, maka dilakukan pembebasan tanah di sebelahnya.
Kini Masjid Baitul Makmur memiliki luas lahan sekitar 2.900 meter persegi, dengan bangunan bertingkat tiga.
Bila pemugaran masjid yang senantiasa dipenuhi jamaah shalat lima waktu itu selesai, luas lantainya akan mencapai 2.500 meter persegi. "Masjid Baitul Makmur akan bisa menampung sekitar 5.000 jamaah," kata Sentot.
Renovasi masjid Baitul Makmur dimulai tiga tahun lalu dan pengerjaannya sudah mencapai 90 persen. Dari rencana semula yang dianggarkan sebesar Rp 5 milyar, pembiayaan yang dikeluarkan untuk merenovasi Baitul Makmur membengkak menjadi Rp 6 milyar.
Itu, kata Sentot, sudah banyak yang dihemat, diantaranya, mengadaan bahan bangunan diusahakan sendiri dan pihak yayasan hanya memborongkan pengerjaan bangunan saja.
Biaya sebesar Rp 6 milyar tentunya bukan angka yang sedikit. Karena sehari-hari Masjid Baitul Makmur juga harus membiayai kegiatannya, dari mulai membayar marbot, membayar kesejahteraan imam masjid dan petugas keamanan.
Termasuk honor imam Jumat atau mubaligh yang mengisi acara kajian Ahad atau hari lainnya. Walau tidak disebutkan berapa besar dana operasional yang dikeluarkan, Sentot menyebut jumlahnya lumayan.
Karena itu katanya, kalau hanya mengandalkan uang kotak amal, Masjid Baitul Makmur akan kesulitan membiayai kegiatan-kegiatannya. Sehingga lahan yang masih tersisa dikelola, dijadikan tempat berjualan bagi jamaah masjid yang berkenan.
Kebetulan lokasi Masjid Baitul Makmur berdampingan dengan perguruan Muhammadiyah, yang senantiasa diramaikan wali murid yang mengantar, menunggu dan menjemput anak-anaknya, sehingga sangat laris dijadikan tempat berjualan.
Ada 20 petak tempat berjualan yang dibuat oleh Yayasan Baitul Makmur dan semuanya habis disewa. Sebulan para pedagang harus membayar Rp 500 ribu atau sekitar enam juta setahun dan itu berarti pemasukan dari menyewakan kios mencapai Rp 120 juta setahun.
Dibandingkan dengan hasil kotak amal, pemasukan dari menyewakan kios ini terbilang masih kecil. "Tapi ini sudah lumayan untuk membiayai kegiatan-kegiatan di masjid," kata Sentot.
Bendahara Masjid Raya Ukhuwah Denpasar, Taufik Muhammad Hamedan menyebutkan, kendati masih dominan dari hasil kotak amal, pemasukan masjid yang berada di tiik nol kota Denpasar itu juga bersumber dari menyewakan toko yang dibangun di lantai bawah masjid.
Persis di bawah mimbar dan tempat shalat imam. Bagian itu berada di sebelah barat, di tepi jalan Sulawesi Depasar yang menjadi salah satu pusat bisnis di Denpasar.
Dengan menyewakan lima kios yang ada, Masjid Ukhuwah bisa mendapatkan pemasukan mencapai Rp 125 juta sebulan.
Namun pemasukan itu masih bisa lebih besar lagi, dengan adanya tambahan dari sekolah taman kanak-kanak yang dimiliki masjid itu, sebulannya mencapai Rp 8 juta.
Menurut Taufik, selain untuk membiayai kegiatan operasional masjid, dana yang diperoleh Yayasan Ukhuwah juga sebagian disubsidikan ke masjid-masjid lainnya yang memerlukan biaya pembangunan. Namun dana yang diambil adalah dana dari hasil usaha dan dana hasil kotak amal.
Masjid Ukhuwah, kata Taufik, juga punya asset tanah wakaf seluas 4000 meterpersegi. Lantaran yang letaknya kuran strategis dan tidak dapat difungsikan, tanah itu dijual dan hasil penjualannya yang mencapai Rp 6 milyar untuk sementara disimpan.
Dana itu, sebut Taufik, tidak boleh digunakan untuk keperluan lain, terkecuali untuk pengadaan asset tanah. "Dulu yang mewakafkannya berikrar seperti itu," kata Taufik.
Masjid Ukhuwah yang berusia lebih dari 100 tahun, sempat memiliki usaha koperasi dan tokoh buku, serta toko busana muslim dan muslimah. Namun belakangan usaha itu dihentikan dan tempat usahanya disewakan kepada pihak ketiga.