REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi
Jalan terjal tampaknya memang selalu harus dilewati umat Islam. Di mana pun mereka berada. Saat mereka berniat menjalankan keyakinannya, ada saja batu sandungan. Salah satunya soal jilbab. Di negara yang jumlah Muslimnya minoritas, tentu halangannya besar.
Tangan kekuasaan turun untuk membendung jilbab. Prancis, misalnya, melarang mereka yang berjilbab dan mengenakan burka. Akhir tahun lalu sebenarnya ada peluang perubahan. Sebuah tim yang terdiri atas para ahli dibentuk Pemerintah Prancis.
Mereka mengkaji persoalan integrasi imigran. Hasilnya, mereka menuangkan sejumlah rekomendasi dalam laporan setebal 32 halaman. Tim ini mengusulkan langkah jitu agar terjadi integrasi untuk mencegah masalah sosial.
Pemerintah diminta lebih menghormati tradisi dan keyakinan para imigran. Mereka kebanyakan berasal dari negeri-negeri Islam dan merupakan Muslim. Rekomendasi lainnya, pemerintah didesak menghapuskan larangan jilbab di sekolah.
Larangan jilbab berlaku sejak tahun 2004 silam. Sayang, usulan tim yang bertanggung jawab kepada Perdana Menteri Jean-Marc Ayrault bertepuk sebelah tangan. Kelompok kanan bereaksi keras. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk tetap melarang jilbab.
Mereka beralasan, sekularisme harus tetap berada di takhtanya. Dan ternyata, di Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim juga menyimpan tantangan sama besarnya. Muslimah tak sepenuhnya bisa melenggang dengan jilbabnya.
Idealnya, tantangan di sini lebih ringan, bahkan tak ada. Apalagi, konstitusi di negara ini menjamin hak setiap warga negara untuk menunaikan keyakinan agamanya. Artinya, Indonesia menghargai keberadaan agama. Di sisi lain, Indonesia juga bukan negara sekuler seperti Prancis.
Semua tak seindah yang dibayangkan. Kita melihat hingga sekarang polisi wanita (polwan) diuji kesabarannya. Mereka harus menahan keinginan untuk berjilbab karena ucapan pemimpin mereka yang semula mengizinkan, sementara ditarik. Entah sampai kapan.
Izin yang akhirnya ditunda, keluar setelah muncul desakan bahkan aksi unjuk rasa. Polri didesak untuk memperbolehkan polwan berjilbab. Jadi, haruskah Muslim melakukan tekanan terlebih dahulu setiap ingin menggunakan hak?
Kasus serupa kini terjadi pada Anita Whardani. Ia siswi kelas XII IPA 1 SMAN Denpasar 2, Bali. Ia juga masih harus memperjuangkan haknya. Sejak dua tahun lalu, ia mengajukan keinginan berjilbab. Namun, asanya menghantam batu karang.
Intinya, Anita dihalangi untuk menutupi auratnya di lingkungan sekolah. Pihak sekolah berkilah memberlakukan larang berjilbab.
Mereka bersilat lidah, berlindung di balik aturan: tak ada siswa yang diperbolehkan mengenakan seragam berbeda dari siswa lainnya.
Jika ada yang memakai seragam berbeda dengan siswa lainnya, tentu masuk kategori pelanggaran. Itu aturan yang berlaku. Harus ditaati oleh seluruh siswa. Meski hatinya perih, mau tak mau, Anita menaati kebijakan sekolahnya.
Dari rumah hingga sekolah ia mengenakan jilbabnya. Ia juga berkain pantai untuk menutup bagian bawah lututnya.
Saat masuk lingkungan sekolah, ia melepas jilbab dan kain pantainya. Selama jam sekolah, ia terpaksa melepaskan haknya menaati ajaran agamanya.
Para pembela hak asasi manusia sering mendengungkan itu adalah hak universal. Di negara kita, bukankah hak menunaikan ajaran agama juga dilindungi konstitusi?
Namun, pada kenyataannya, sering terjadi anomali. Sering kali, konstitusi yang seharusnya menjadi acuan hukum dikalahkan oleh aturan di bawahnya. Termasuk oleh aturan sekolah.