REPUBLIKA.CO.ID, Ada satu hal yang tidak hentinya diingatkan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. ''Jibril memerintahkan berbuat baik kepada tetangga secara luas, yang aku berpikir bahwa ia memasukkan tetangga sebagai ahli waris.'' (HR Muttafaqun'alaih)
Maka, Rasulullah pun mengikuti anjuran tersebut, dan menekankah hal yang sama kepada para shahabat maupun umat Muslim lainnya. Tetangga, dalam wasiat Nabi, haruslah dihormati serta diperlakukan dengan baik.
Hadis di atas sejatinya merupakan penguat dari perintah Allah SWT pada surat an Nisaa [4] ayat 36, ''Sembahlah Allah dan jangan sekutukan Dia dengan apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman-teman, ibn sabil, dan hamba sahayamu..''
'Tetangga yang dekat' bisa diartikan yakni seseorang yang dengannya, berhubungan dalam keluarga atau agama, sedangkan 'tetangga jauh' adalah yang tidak memiliki ikatan itu.
Hanya saja, menilik ketentuan-ketentuan tadi, maka setiap tetangga punya hak tetangga atas diri seorang Muslim, meski tak ada kaitan keluarga serta agama. Maka itulah, Nabi bahkan berpikir untuk membuat tetangga seperti layaknya keluarga hingga memberikan hak waris serupa keluarga.
Siapakah tetangga kita? Seperti dijelaskan Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan az-Zuhri, tetangga merupakan orang terdekat yang tinggal di satu lingkungan, jumlahnya hingga 40 kepala keluarga (KK), di tiap-tiap arah angin.
Karena faktor kedekatan itulah, peran tetangga begitu besar terhadap kehidupan seseorang. Jika tertimpa musibah, tetanggalah yang pertama kali memberikan bantuan, pertolongan maupun uluran tangan. Ada nilai-nilai kebersamaan yang harus dijaga dalam lingkungan tempat tinggal.
Toleransi pun menjadi kata kunci. Oleh sebab itu, Islam tidak menginginkan umat hidup bermewah-mewah jika pada saat yang sama, masih ada tetangganya yang kesusahan. ''Bukan termasuk orang yang percaya kepadaku, orang yang makan kenyang sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan, dan ia mengetahui hal tersebut,'' demikian sabda Rasulullah.
Bahkan, ungkap Dr Hamka Hasan MA, dosen Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rasulullah sampai mencap seseorang tidak beriman jika tidak peduli kepada tetangga. Islam, sambung alumni Universitas Al Azhar Mesir ini, sangat menganjurkan umatnya untuk menjalin hubungan yang baik kepada tetangganya. Ia menyebutkan, sesama Muslim ada tiga kewajiban.
Pertama, karena dia itu Muslim, kedua karena dia manusia dan ketiga karena dia merupakan tetangga. Sedangkan kepada non-Muslim, umat memiliki dua kewajiban. Pertama, karena dia itu manusia dan kedua karena dia itu tetangga.
Inilah wujud penting dari kehidupan bertetangga. Bahkan Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya mengingatkan, ''Kalau kalian memasak sayur, hendaklah memperbanyak kuahnya.''
Makna dari hadis tersebut, ungkap Hamka, siapapun harus peduli dengan tetangga yang ada di sekitar rumahnya. Jangan sampai mereka hanya mencium bau sedap masakan yang dimasak, tapi tak pernah merasakan nikmatnya masakan itu. Tak hanya itu. Dalam membangun rumah pun, seseorang diminta untuk memerhatikan kepentingan tetangganya pula. Tidak boleh bangunan tersebut menghakagi rumah sang tetangga.
''Misalnya saja, pagar rumah yang kita bangun terlalu tinggi melebihi rumah tetangga, akhirnya mencegah masuknya angin ke sana. Itulah antara lain prinsip penting yang disampaikan Rasulullah,'' papar Hamka.
Karena itu, tidak boleh seorang Muslim berbuat seenak hatinya di tengah kehidupan bermasyarakat. Kebebasan individu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Di sinilah peran agama untuk mengimbangi antara kebebasan seseorang sebagai pemilik rumah dengan kebebasan orang lain sebagai tetangga, karena sesungguhnya mereka juga memiliki hak.