REPUBLIKA.CO.ID, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait tubektomi. Dalam Muktamar Majelis Tarjih pada 1968 disebutkan bahwa dalam keadaan darurat tubektomi diperbolehkan sekadar perlu, dengan syarat ada persetujuan dari suami serta tak mendatangkan madarat jasmani dan rohani.
‘’Pencegahan kehamilan yang dianggap berlawanan dengan ajaran agama Islam adalah sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niat segan memiliki keturunan atau dengan cara merusak atau mengubah organisme yang bersangkutan, seperti memotong, mengangkat dan lain-lain,’’ papar Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Dalam fatwa yang ditetapkan Muktamar Majelis Tarjih 1968 tak disebutkan larangan tentang tubektomi. Hanya saja, para ulama Muhammadiyah menegaskan bahwa mengangkat, memotong dan mengubah organisme dilarang oleh ajaran Islam.
Muhammadiyah sependapat dengan keputusan Komisi Fatwa MUI1979 yang menyatakan bahwa tubektomi haram. Tubektomi dinilai Muhammadiyah sebagai cara KB yang belum dibenarkan oleh Islam. ‘’Menurut keterangan ahli kebinanan dan ahli kandungan sterilisasi dengan tubektomi dapat dipulihkan, tetapi dalam kenyataannya kemungkinan berhasilnya sangat tipis atau tidak dapat dipertanggungjawabkan,’’ tutur fatwa Majelis Tarjih.
Para ulama NU pun telah menetapkan fatwa terkait tubetomi dalam forum Muktamar ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta pada 1989. fatwa itu ditetapkan untuk menjawab pertanyaan tentang hukum tunektomi yang dapat direhabilitasi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa penjarangan kehamilan melalui cara apapaun tidak dapat diperkenankan, jika mencapai batas mematikan fungsi keturunan secara mutlak.
‘’Sterilisasi yang dapat diperkenankan hanyalah yang bersifat dapat dipulihkan kembali kemampuan berketurunan dan tidak sampai merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang berfungsi,’’ papar ulama NU dalam fatwa tersebut.
Sebagai dalilnya, ulama NU mengutip al-Bajuri ala Fathil Qarib, juz II, halaman 93; ‘’Haram mempergunakan sesuatu (seperti obat-obatan) yang dapat memutuskan kehamilan sama sekali (sehingga tidak bisa hamil kembali selamanya). Sedangkan yang hanya memperlambat kehamilan untuk waktu tertentu dan tak memutuskannya sama sekali, maka tidak haram dan bahkan tidak makruh, jika karena sesuatu uzur, seperti ingin mendidik anak terlebih dulu. Jika tidak ada sesuatu alas an apapun, hukumnya makruh.’’