Rabu 27 Nov 2013 09:59 WIB

'Istimna', Haram atau Makruh? (Bagian 2-Tamat)

Rep: Hannan Putra/ Red: Citra Listya Rini
Masturbasi
Masturbasi

REPUBLIKA.CO.ID, Sebagian ulama Mazhab  Hanbali berpendapat sama dengan sebagian ulama Mazhab Hanafi, yakni bahwa pada dasarnya hukum bagi istimna adalah haram. Namun, apabila tidak melakukan istimna akan mengakibatkan zina, maka hukum melakukan istimna’ itu boleh (mubah).

Apabila seseorang takut bahwa kondisi kesehatan fisiknya terganggu, atau konsentrasinya dalam berpikir menjadi buyar jika melakukan masturbasi, maka melakukan masturbasi diperbolehkan baginya. Ulama Mazhab Hanafi ini berdalil dengan surah Al An‘am (6) ayat 119: "...padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu."

Ayat tersebut tidak mengemukakan secara terperinci tentang masalah masturbasi, tetapi hanya menyampaikan bahwa Allah SWT telah menjelaskannya. Karena itu, ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali berkesimpulan bahwa kebolehan melakukan masturbasi lebih besar kemungkinannya daripada pengharamannya.

Menurut dua pendapat terakhir di atas, melakukan masturbasi dibolehkan dalam masalah yang sangat mendesak, dengan syarat harus dibatasi sesuai dengan kebutuhan (tidak melebihi kebutuhan). Jika masturbasi dilakukan secara berlebihan, maka kondisifisikdan kesehatan orang yang bersangkutan bisa terganggu.

Ibnu Hazm (salah seorang tokoh Mazhab az- Zahiri) berpendapat bahwa hukum bagi praktek masturbasi adalah makruh, dan masturbasi tidak akan menjerumuskan orang pada dosa. Ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT surah Baqarah (2) ayat 29: "Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu...” 

Jadi, ia memandang makruh saja mencari kesenangan dengan melakukan masturbasi karena untuk melakukannya tidak dilibatkan orang lain. Secara umum Allah SWT telah menciptakan semua itu untuk manusia sesuai dengan fitrahnya.

Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi Muhammad SAW) membolehkan masturbasi karena orang Islam dahulu sering kali melakukannya sewaktu mengikuti peperangan (jauh dari keluarga). Bahkan Mujahid (seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas) berkata bahwa Nabi Muhammad SAW mentoleransi para pemuda Islam melakukan masturbasi pada waktu itu. 

Agar boleh melakukan masturbasi di sini tidak salah diartikan, maka kebolehan itu hanya berlaku dalam kondisi yang sangat mendesak, dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan karena dapat mengakibatkan sanggunya kesehatan jasmani dan mental orang yang melakukannya. 

Lebih lanjut, Mujahid mengatakan bahwa masturbasi bisa mengakibatkan potensi kelamin seseorang melemah di saat ia telah menikah, selain berpengaruh terhadap ketahanan ejakulasinya yang dikhawatirkan dapat merusak keharmonisan dalam berumah tangga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement