Senin 25 Nov 2013 17:22 WIB

Islam Berseri di Kyoto

Rep: afriza hanifa/ Red: Damanhuri Zuhri
Muslim Jepang tengah mengaji
Muslim Jepang tengah mengaji

REPUBLIKA.CO.ID, Gedung publik Shiran Kaikan dipenuhi ratusan warga. Para pria mengenakan pakaian rapi dan kopiah, sedangkan wanita mengenakan jilbab. Di setiap wajah mereka tersirat kegembiraan dengan senyum yang mengembang.

Mereka merupakan para Muslimin Kyoto yang tengah merayakan hari raya. Di kawasan Shiran Kaikan itulah mereka berkumpul untuk shalat Idul Adha pada Oktober lalu.

Shalat dimulai pukul 09.30 waktu setempat. Idul Adha kemarin jatuh pada Selasa sehingga tak semua Muslimin Kyoto dapat menghadiri shalat. Mengingat, hari raya Islam bukanlah hari libur nasional Jepang.

Kendati demikian, sekitar lebih dari 200 warga menghadiri shalat tersebut. Sebagian mereka tampak berwajah bukan asli Jepang, melainkan imigran. Namun, bukan berarti tak ada warga asli Jepang. Beberapa lain merupakan kelahiran asli Jepang, lebih khusus Kyoto.

Meski minoritas, Muslimin dapat hidup nyaman dan tenang di Kyoto, salah satu kota metropolitan di Jepang. Tak terdata jelas berapa jumlah Muslimin di sana. Namun, menurut beberapa sumber, terdapat sekitar 300 Muslim yang tinggal di kota berpopulasi hampir 1,5 juta jiwa tersebut.

Secara nasional Jepang, jumlah Muslimin tak memiliki data akurat. Beberapa sumber menyebutkan Muslim Jepang berjumlah satu banding 10 ribu penduduk.

Sumber lain menyebut Muslim di Jepang mencapai 70 ribu dengan 90 persennya merupakan imigran. Adapun PEW Research menyebutkan jumlah Muslim di Jepang mencapai 183 ribu.

Muslimin di Kyoto didominasi pendatang yang bekerja ataupun belajar di sana. Sebagian besar mereka merupakan mahasiswa dan ekspatriat. Dalam kehidupan sehari-hari, Muslimin Kyoto tak banyak mengalami kesulitan.

Dalam hal ibadah, terdapat bangunan Islamic Center yang difungsikan sebagai masjid. Di sana mereka juga mendapat siraman rohani secara terjadwal.

Pernikahan secara Islam pun dapat dilaksanakan dengan baik. Demikian pula, saat ingin menunaikan haji, terdapat bantuan dari asosiasi Muslim setempat.

Untuk kebutuhan pangan, Muslimin Kyoto biasa membeli di toko bahan makanan halal yang ada di Islamic Cultural Centre. Terdapat pula beberapa restoran halal, salah satunya Kyoto Rose Café yang menyajikan menu Barat dan Timur.

Restoran-restoran halal biasanya dimiliki dan dikelola oleh Muslimin dengan menu Timur Tengah, India, dan Asia lain, termasuk Melayu.

Namun, saat ini beberapa restoran umum Jepang juga mulai menyajikan menu halal. Tentu saja hal itu menambah kemudahan bagi warga asli Kyoto untuk menyantap makanan khas asli mereka tanpa meragukan kehalalannya.

Kemudahan tersebut tak hanya di tengah komunitas masyarakat umum. Di kampus, khususnya di Kyoto University, mahasiswa Muslim juga tak kesulitan dalam berislam.

Terdapat mushala yang biasa menjadi tempat ibadah dan kumpul-kumpul para mahasiswa Muslim. Bahkan, terdapat pula tempat makan halal bertajuk Camphora di kantin kampus.

Berbagai kemudahan Muslimim Kyoto di tengah mayoritas penganut Sintho tersebut tentu tak lepas dari peran organisasi Islam.

Sedikitnya terdapat dua organisasi yang menaungi komunitas Muslim, yakni Kyoto Muslim Association (KMA) dan Kyoto Islamic Cultural Society (KICS).

Merekalah yang membantu layanan kebutuhan Muslimin, memberikan fasilitas ibadah dan keilmuan, serta menyuarakan hak Muslimin Kyoto sebagai kelompok minoritas.

KMA mengambil banyak peran di tengah komunitas Muslim Kyoto. Organisasi nonprofit tersebut yang menyediakan layanan masjid dan Islamic Center.

Mereka pula yang membantu setiap kebutuhan Muslimin, di antaranya mengadakan perayaan setiap hari raya, mengadakan acara ifthar setiap Ramadhan, menyediakan daging halal, hingga memberikan jasa bimbingan dan sertifikat bagi mualaf. Berdiri sejak 1987, organisasi itu pula yang membawahi pengurusan yayasan masjid.

Adapun sejarah awal mula Islam di Kyoto sama halnya dengan kedatangan Islam di Negeri Sakura. Islam baru dikenal di Negeri Matahari Terbit ini pada abad ke-19, yaitu ketika terjalin hubungan antara Jepang dan Turki Usmani.

Menurut Direktur Islamic Center Jepang Prof Shalih Mahdy Al-Samarray dalam artikelnya Islam di Jepang; Sejarah dan Perkembangannya, pada masa awal kebangkitan Jepang tahun 1868 atau disebut era Meiji, terdapat dua negara Asia yang merdeka dari Barat, yakni Jepang dan negara Islam Turki Usmani. Alhasil, keduanya pun menjalin hubungan erat dan saling berkunjung.

Turki membuka pintu dakwah Islam awal di Jepang. Namun, dalam perkembangannya, hubungan Jepang-Turki Usmani tak banyak mengambil peran dalam pembentukan komunitas Muslim Jepang.

Hingga kemudian, para pedagang India dan Arab banyak menetap. Sejak itulah, mulai muncul komunitas-komunitas Muslim di Jepang, termasuk di Kyoto.

 

Islamic Cultural Center

Muslimin Kyoto memiliki sebuah bangunan sederhana yang difungsikan sebagai pusat kegiatan keislaman. Islamic Cultural Centre, demikian nama tempat yang berlokasi di kawasan Kamigyo-Ku, Kyoto, itu.

Tampak depan, bangunan tersebut sangat biasa dan sederhana. Namun, di dalamnya Muslimin dapat menemukan banyak hal.

Islamic Cultural Center tersebut memiliki kelas untuk pengajaran Islam dan bahasa Arab, sebuah perpustakaan, toko pangan halal, dan tempat shalat.

Al-Salaam Prayer Hall atau disebut juga Masjid Kyoto berada di bagian basement. Masjid tersebut selalu mengadakan shalat lima waktu serta shalat Jumat jamaah. Setiap hari pada Ramadhan, buka puasa bersama juga diadakan Muslimin di masjid tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement