Rabu 06 Nov 2013 21:56 WIB

Haji dan Perubahan Perilaku

Jamaah Haji di Masjidil Haram
Foto: Antara
Jamaah Haji di Masjidil Haram

REPUBLIKA.CO.ID. Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS

Sebagaimana telah sama-sama diketahui, kurang lebih 168.800 jamaah haji Indonesia yang berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada musim haji tahun 1434 H/2013 ini, kecuali yang wafat, secara bergelombang sedang dalam proses kepulangan ke Tanah Air.

Kita bersyukur kepada Allah atas segala rahmat dan inayah-Nya sehingga secara keseluruhan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, baik di Tanah Air maupun di Arab Saudi telah berjalan dengan baik, lancar, dan sukses.

Upaya pemerintah melalui Kementerian Agama, dalam hal ini jajaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, dalam meningkatkan pelayanan haji, patut diapresiasi dan terus ditingkatkan di masa mendatang.

Tingginya minat dan kemampuan umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji layak disambut dengan rasa syukur, apalagi jamaah haji Indonesia adalah yang terbesar dibanding jamaah haji dari negara lain.

Setelah kembali dari menunaikan ibadah haji, yang harus dijaga ialah pelestarian nilai-nilai ibadah haji dalam bentuk perubahan perilaku kepada yang lebih baik. Sebab, ibadah haji memiliki banyak hikmah dan ibrah terutama di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Apalagi moto yang diusung Kementerian Haji dan Wakaf Arab Saudi tahun 1434 H ini adalah al-Hajju Ibadatun wa Sulukun Hadloriyyun (Haji is Worship and Civilized Behavior/Haji adalah ibadah dan perilaku modern dan beradab).

Namun, sayang dalam praktiknya banyak jamaah haji belum bisa menangkap hikmah dan ibrah ibadah setahun sekali tersebut yang bagi mayoritas jamaah haji hanya dapat dilaksanakan sekali seumur hidup. Sehingga, tidak banyak perubahan yang didapatkan pascaibadah haji ini.

Sesungguhnya banyak hikmah dan ibrah bisa digali dalam pelaksanaan ibadah haji untuk mencapai perubahan perilaku sebagai Muslim, apalagi perilaku modern yang sarat dengan nilai-nilai universal. Hal ini sejalan dengan firman-Nya dalam QS al-Hajj [22] ayat 27-28, antara lain:

Pertama, menguatkan akidah dan keyakinan kepada Allah SWT. Akidah adalah fondasi kehidupan seorang Muslim yang harus mewarnai keseluruhan sikap, cara berpikir, dan bertindak sebagai seorang hamba Allah.

Kedua, pakaian ihram yang hanya dua helai kain serbaputih yang menggambarkan, siapa pun manusia itu kelak akan kembali kepada Allah dengan hanya dibungkus dua helai kain kafan.

Anak, jabatan, dan kedudukan serta harta benda tidak akan pernah dibawa kecuali semuanya itu dijadikan sarana untuk melakukan kegiatan amal saleh.

Ketiga, agar kaum Muslimin khususnya jamaah haji semakin mencintai kegiatan di masjid, terutama shalat berjamaah dan muamalah dengan masyarakat sekitar.

Keempat, agar terbangun suasana ukhuwwah Islamiyyah antara sesama orang yang beriman, meskipun berbeda warna kulit, suku bangsa, dan bahasa. Semuanya larut dan menyatu dalam ketauhidan dan keimanan kepada Allah SWT (QS al-Hujurat [49]: 13).

Kelima, thawaf dan sa'i menggambarkan dalam mencapai cita-cita yang tinggi dan luhur, orang yang beriman terus-menerus bergerak, aktif berbuat, tidak boleh berhenti, tidak boleh putus asa, dan tidak boleh malas (QS al-Mukminun [23]: 4). Dan hikmah lainnya yang bisa dipelajari dan dihayati oleh setiap jamaah.

Memang, harus kita akui banyak faktor yang menyebabkan umat Islam kurang mampu menangkap ibrah dari setiap segmen ibadah haji. Misalnya faktor pengetahuan, latar belakang pendidikan, bimbingan yang kurang, dan ketiadaan keteladanan.

Dalam hal persatuan, misalnya, umat Islam sangat membutuhkan figur-figur yang berpikir dan bertindak untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok dan firqah sendiri.

Gerakan perbaikan moral dan sosial seyogianya teraplikasikan dengan baik ketika para haji kembali ke Tanah Air.

Hakikat kemabruran haji, di samping pelaksanaan ibadah haji yang tepat dan sesuai dengan syariat Islam, juga sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku serta amal perbuatan sesudahnya.

Ulama besar Imam Hasan al-Bashri menggambarkan, yang dimaksud dengan haji mabrur itu adalah perubahan perilaku ke arah yang lebih baik dan para jamaah haji tersebut mampu menjadi panutan di lingkungan masyarakatnya (Ay-Yakuuna Ahsana min Qablu wa Ayyakuuna Qudwata Ahli Baladihi).

Kemampuan menjadi panutan di masyarakat amat dibutuhkan sekarang ini, apalagi ketika kehidupan bangsa kita didera dengan berbagai persoalan akhlak, moral, pelanggaran hukum, bahaya korupsi, anarki sosial, dan merosotnya wibawa kepemimpinan, baik formal maupun informal.

Dalam kondisi seperti ini hikmah dan ibrah dari ibadah haji perlu diresapi dan diamalkan dengan sebaik-baiknya. Para haji harus menjadi pelopor dalam pemberantasan korupsi di lingkungannya masing-masing.

Itu sejalan dengan janji suci yang diungkapkan dalam doa dan munajat saat wukuf di Arafah untuk menjalani kehidupan sebagai Muslim yang baik dan hijrah dari segala dosa yang pernah dilakukan.

Selama di Tanah Suci para jamaah haji telah menghayati makna ukhuwah, kesetaraan derajat manusia dan semangat beribadah yang lebih baik di banding sebelum menunaikan haji.

Seorang haji tidak boleh puas hanya menyandang predikat haji dan telah kembali dari pengalaman rohaniah yang istimewa, tetapi perlu dikembangkan lebih jauh ke dalam spirit untuk berbuat baik dan menjadi sumber kebajikan bagi lingkungan sekitarnya.

Ibadah haji mengandung hikmah dan makna menghilangkan sifat-sifat egoistis pada manusia dan menggantinya dengan kesadaran kemanusiaan untuk menghayati nilai universal ajaran Islam dan kepedulian yang tinggi untuk memberi manfaat bagi orang lain.

Dalam hubungan inilah keberadaan wadah yang menghimpun para haji, seperti Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) perlu diberdayakan dan dioptimalkan manfaatnya untuk pembangunan umat dan bangsa.  

Sungguh tepat sekali pascapelaksanaan ibadah haji,  umat Islam memasuki momen pergantian Tahun Baru Hijriyah 1 Muharam. Umat Islam perlu menemukan keterkaitan pesan dan makna antara haji dan hijrah.

Pergantian tahun kalender dalam Islam mengandung nilai dan hikmah untuk melaksanakan pesan hijrah yakni meninggalkan kondisi yang kurang baik dan pindah ke kondisi yang lebih baik.

Nabi Muhammad SAW sejak 15 abad yang lampau tidak hanya memindahkan pusat perjuangan dakwah dari Makkah ke Yastrib (Madinah) dalam arti kepindahan fisik semata, tetapi sebelumnya memindahkan akidah umat dari jahiliyah kepada tauhid, memindahkan orientasi ibadah umat dari kemusyrikan kepada tauhid, memindahkan tatanan sosial yang penuh kemungkaran dan ketidakadilan kepada tatanan yang sesuai kemuliaan martabat manusia dan menghadirkan kesejahteraan serta ketaatan pada hukum.

Selamat datang para haji Indonesia dan selamat menyambut Tahun Baru 1 Muharram 1435 Hijriyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement