Rabu 06 Nov 2013 08:10 WIB

Industri Penerbitan Buku di Dunia Islam 'Dibunuh' Kekuatan Kolonial

Ilustrasi ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi ilmuwan Muslim saat mengembangkan sains dan teknologi pada era Dinasti Abbasiyah di Baghdad.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan

   

Dunia Barat boleh bangga dengan pencapaiannya di bidang industri penerbitan buku, saat ini. Menurut data pada Bowker, lembaga penyedia informasi bibliografi terkemuka di dunia, setiap tahunnya ada ratusan judul buku baru yang terbit di Amerika Serikat. Pada 2009, misalnya,  jumlah judul buku baru yang terbit mencapai 288 ribu.

   

Namun, menurut Ziaudin Sardar and MW Davies dalam Distorted Imagination,  pencapaian peradaban Barat dalam bidang penerbitan buku saat ini,  hampir setara dengan penerbitan buku di dunia Islam 10 abad silam, baik secara kualitas maupun kuantitas. "Hampir 1.000 tahun sebelum buku hadir di peradaban Barat, industri penerbitan buku telah berkembang pesat di dunia Islam," ujar kedua sejarawan itu.

   

Industri buku di dunia Islam pada era keemasan sungguh sangat mengagumkan. Semua berawal dari ditemukannya teknologi pembuatan kertas dan tinta di dunia Islam pada abad ke-8 M. ‘’Pembuatan kertas telah menciptakan revolusi kultural,’’ papar Ahmad Y Al-Hasan dan Donald R Hill dalam Islamic Technology: An Islamic History.

   

Sejak ditemukannya kertas, bahan tulis-menulis bebas dari monopoli. ‘’Kertas pun menjadi barang yang sangat murah,’’ ujar Al-Hassan dan Hill. Pada era kekuasaan Abbasiyah, produksi buku di kota-kota Islam mencapai skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

   

‘’Dalam waktu kurang dari satu abad ratusan ribu manuskrip menyebar ke seluruh negeri Islam,’’ ungkap Al-Hassan dan Hill. Baghdad – ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah – tercatat sebagai  sentra produksi buku pada abad ke-9 M.     Di era itu, tak kurang dari 100 kompleks tempat pembuatan buku tersebar di penjuru kota Baghdad.

Pada masa itu, buku terdapat di mana-mana. Tak cuma itu, profesi penjual buku pun menjamur. “Produksi kertas tak hanya memberi rangsangan luar biasa untuk menuntut ilmu, tetapi membuat harga buku semakin murah dan mudah diperoleh. Hasil akhirnya adalah revolusi budaya,’’ cetus Cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar.

 

Menurut dia, produksi buku dalam skala yang tak pernah terjadi sebelumnya membuat konsep ilmu bertransformasi menjadi sebuah praktik yang benar-benar distributif.

Bermunculannya industri kertas pada era kejayaan Islam juga telah melahirkan sejumlah profesi baru. Salah satunya adalah warraq (penjual buku). Mereka menjual kertas dan berperan sebagai agen. Selain itu, warraqin juga bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai manuskrip yang dipesan para pelanggannya. Mereka juga menjual buku dan membuka toko buku.

Menurut Sardar, sebagai agen, warraqin juga sering membuat sendiri kertas untuk mencetak buku. Sebagai penjual buku, warraqin mengatur segalanya, mulai dari mendirikan kios di pinggir jalan hingga toko-toko besar yang nyaman jauh dari debu-debu pasar. Kios-kios buku itu umumnya berdiri di jantung kota-kota besar, seperti Baghdad, Damskus, kairo, Granada dan Fez.

Seorang sarjana Muslim, Al-Yaqubi dalam catatannya mengungkapkan pada abad ke-9, di pinggiran kota Baghdad terdapat tak kurang dari 100 kios buku. Di toko-toko buku besar, kerap berlangsung diskusi informal membedah buku. Acara itu dihadiri para penulis dan pemikir terkemuka.

Sardar menuturkan, salah satu toko buku terkemuka dalam sejarah Islam adalah milik Al-Nadim (wafat 990). Dia adalah seorang kolektor buku pada abad ke-10. Toko buku Al-Nadim di Baghdad dipenuhi ribuan manuskrip dan dikenal sebagai tempat pertemuan para pemikir, penyair terkemuka pada masanya.

Katalog buku-buku yang terdapat di tokonya Al-Fihrist Al-Nadim dilengkapi dengan catatan kritis. Katalog itu dikenal sebagai enskiklopedia kebudayaan Islam abad pertengahan. Industri penerbitan yang dipelopori warraqin dilakukan dengan sistem kerja sama antara penulis dengan penerbit.

Seorang penulis yang ingin menerbitkan bukunya bisa menyampaikan keinginannya secara publik atau menghubungi satu atau dua warraqin. Buku tersebut nantinya akan “diterbitkan” di sebuah masjid atau di toko buku terkenal.

Selama masa yang ditentukan, setiap harinya penulis buku itu akan mendiktekan isi bukunya. Setiap orang boleh menghadiri acara itu. Biasanya, para pelajar dan sarjana berkerumum menyimak acara penting itu. Para penulis biasanya menegaskan bahwa hanya warraqin saja yang boleh menulis bukunya.

Ketika buku selesai ditulis, manuskrip tangan akan diperiksa dan diperbaiki penulisnya. Setelah sepakat, buku akan diterbitkan dan dijual kepada pembaca. Sesuai kesepakatan, penulis akan mendapat royalti dari warraqin. Tumbuh suburnya industri penerbitan membuat gairah membaca masyarakat Muslim begitu tinggi.

   

Pada abad ke-12 M, buku tercatat sebagai salah satu produk yang sangat laris di pasaran. Ketika Timbuktu, sebuah kota di Mali, Afrika Barat menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang termasyhur, sejarawan Abad XVI, Leo Africanus menggambarkan, rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku.

Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Sehingga, perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya. Garam, buku dan emas mejadi tiga komoditas unggulan yang begitu tinggi angka permintaannya pada era itu.

Menurut Sardar, industri penerbitan buku di dunia Islam masih eksis ketika negara-negara Eropa menguasai tanah Muslim. ‘’Secara sistematis, industri penerbitan buku di dunia Islam dibunuh oleh kekuatan kolonial, sama nasibnya dengan sistem pendidikan, kesehatan, dan lembaga kebudayaan yang ada di dunia Islam,’’ ujar Sardar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement