Sabtu 02 Nov 2013 10:58 WIB

Hijrah, Mengutamakan Kepentingan Bersama

Rep: c72/ Red: Damanhuri Zuhri
Logo Halal
Logo Halal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berhijrah, kata cendekiawan Muslim KH Prof Didin Hafidhuddin, berarti berpindah secara moral, mental, dan perilaku dari perbuatan buruk yang merusak tatanan kehidupan sosial pada perilaku yang baik.

Mengubah perilaku dari materialistis dan hedonis serta menghalalkan segala cara menjadi taat pada aturan. Dan, mesti mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini menegaskan, hanya ada  satu cara untuk memperbaiki kondisi bangsa yang karut-marut saat ini. Menurutnya, cara tersebut adalah dengan berhijrah secara total.

Hijrah harus dilakukan secara masif dan bersama-sama oleh seluruh komponen masyarakat dan bangsa. Terutama bagi pimpinan dan pejabat yang mendapatkan amanah sebagai pejabat publik. "Tinggalkan perilaku korup dan khianat menjadi berperilaku jujur dan amanah," ujarnya.

Apalagi, tahun ini dan tahun depan adalah tahun politik. Jangan sampai para pimpinan partai politik dan tokoh masyarakat terlibat politik machiavelis.

Artinya, mereka yang berkecimpung dalam politik dan pemerintahan harus mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya kepentingan sesaat. Seperti, perilaku sebagian dari elite politik, baik dari eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

“Ini tak boleh terjadi terus-menerus,” katanya. Hijrah dalam konteks bernegara mesti dimulai dari ketiga lembaga negara itu. Caranya, kuatkan iman dan akhlak dan perkuat sinergi pengawasan, baik oleh ulama atau lembaga masyarakat lainnya. 

Didin mengatakan, saat ini perlu ada koreksi total pada konsep dan implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap komponen masyarakat harus menyadari semua yang terjadi sekarang ini. "Jangan apatis dan masa bodoh dengan lingkungan sekitar kita," ujar mantan rektor Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, Jawa Barat itu.

Sehingga setiap orang perlu melakukan hijrah aktif dan persuasif pada semua bidang kehidupan, tidak hanya aspek sosial. Dia mencontohkan, pada bidang ekonomi, semua harus hijrah dari sistem ribawi yang merusak dan eksploitatif, ke sistem syariah yang adil dan transparan serta menyejahterakan.

Menurut Didin, perlu ada upaya penyadaran secara terus-menerus. Sehingga, hijrah sosial dapat dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan informal. Selain itu juga perlu ada pengawasan yang tegas dan keteladanan dari berbagai pihak.

Rektor Universitas Islam Djuanda, Bogor, Dr Martin Roestamy, mengatakan tahun Hijriah kali ini dapat menjadi perenungan baik masyarakat pada umumnya maupun pemimpin negara. Tahun ini merupakan tahun politik yang perlu diperhatikan dari segala aspek.

Hijrah dimaknai sebuah perpindahan dari keadaan buruk menjadi keadaan yang lebih baik. Kepemimpinan dan perbuatan yang tidak Islami menjadi lebih Islami. “Renungkan apakah hidup kita sesuai Alquran dan sunah,” katanya.

Ia menyebut, hijrah dapat dimulai dari hal yang sederhana. Sebagai contoh, dari makanan. Sudah seharusnya sebagai Muslim mengonsumsi makanan yang halal.

Namun, justru saat ini banyak orang bahkan pemerintah terkesan tidak peduli akan hukum itu. Padahal, aturan itu tertuang jelas dalam Islam. "Regulasi halal terancam terhenti,"ujarnya.

Hijrah, tutur Martin, bermakna berubah dari yang tidak mematuhi perintah Allah SWT menjadi patuh dengan meninggalkan larangan-Nya.

Selain itu, hijrah berarti harus menginstrospeksi diri. Mereka tidak hanya melakukan tadabur dengan negara, tetapi juga masyarakat, keluarga, diri sendiri, terutama Allah SWT.

Berhijrah, kata Martin, harus mampu berpindah dari ketamakan dan perasaan tidak pernah puas menjadi selalu bersyukur dan merasa cukup. Jangan meniru pejabat yang sudah tidak mampu berpikir. “Fisiknya renta, tapi nekat untuk memimpin kembali," ujarnya.

Hijrah juga harus mampu bersikap memberi teladan yang baik. Pemimpin harus mampu hidup dalam kesederhanaan dan tidak serakah seperti membentuk dinasti politik.

Namun demikian, masyarakat seharusnya tidak menjadi apatis terhadap lingkungan sekitar dan hanya berdiam diri. Dampaknya, muncul pragmatisme dan cenderung meniru perilaku pemimpin.

Martin mengatakan, agar mampu menciptakan hijrah sosial, kesadaran moral perlu didorong. Masyarakat harus mampu berpikir positif terhadap apa yang dikerjakan dari mulai orang terdekatnya.

Berbaik sangka diperlukan bagi setiap orang agar tercipta kehidupan bermasyarakat yang harmonis. “Bangun emosi yang bagus secara berjamaah,” ujarnya.

Titik tolak umat Islam pada hijrah sosial adalah kembali iman pada Allah SWT. Menurutnya, tindakan buruk dan perilaku menyimpang yang jauh dari agama karena hilangnya kepercayaan manusia pada Tuhannya.

Padahal semestinya, keyakinan dan keimanan teguh kepada Sang Khaliq, akan menghilangkan rasa khawatir.  Kiat sederhana menjaga keimanan, maka patuhilah perintah dan jauhi larangan. Dan, jalankan shalat lima waktu serta berorientasi pada tujuan akhirat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement