Senin 28 Oct 2013 23:41 WIB

Menag Sebut Integrasi Hukum Islam dan Positif Tak Seharusnya Diperdebatkan

Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali.
Foto: Antara/Syaiful Arif
Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA --Pengintegrasian antara hukum Islam dengan hukum positif menurur Menteri Agama Suryadharma Ali tak  perlu menjadi bahan perbincangan lagi, karena keduanya positif.

"Dalam pengertian populer, hukum positif adalah hukum yang tertulis. Padahal jika menilik sejarah filsafat positivisme, hukum positif adalah hukum yang berlaku," katanya di Yogyakarta, Senin (28/10).
Jadi, ia menekankan, pada kuliah umum dan peresmian Pusat Studi Hukum Islam Universitas Islam Indonesia (UII), apa pun hukum itu, baik tertulis maupun tidak, jika berlaku di masyarakat, maka itu positif.
 
Ia mengatakan pemaduan hukum Islam dan hukum positif tidak sesederhana yang dikira. Ada kesalahan semantik yang sering tidak disadari ketika berbicara tentang hukum Islam di satu sisi dan hukum positif di lain sisi.
 
"Problem internal itu misalnya sering tidak peduli akan perbedaan antara syariah dan hukum Islam. Ada yang mengartikan syariah adalah agama Islam itu sendiri, ada juga yang memaknai syariah sebagai hukum Islam," katanya.
 
Menurut dia, bila menggunakan pendekatan sosiologis, syariah adalah nilai-nilai hukum, jadi belum menjadi hukum. Dalam banyak literatur sosiologi, nilai adalah seperangkat anggapan tentang baik dan buruk, tetapi pelanggaran atasnya tidak menghadirkan sanksi.
 
Sementara norma, pelanggaran atasnya menghadirkan sanksi. Dalam hal ini fiqih atau hukum adalah norma dan merupakan hasil deduksi dari nilai. Dalam upaya penciptaan tatanan sosial, fiqih-lah yang diterapkan, bukan syariah. 
 
Ia mengatakan secara konstitusional, agama adalah salah satu unsur pembentuk hukum nasional. Oleh karena itu, jika hukum Islam turut mewarnai hukum nasional, semestinya tidak menjadi isu,  
karena hukum Islam adalah bagian dari kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
 
"Sekali dideklarasikan sebagai hukum nasional, maka bukan lagi hukum Islam tetapi hukum positif Indonesia. Undang-undang (UU) tentang perkawinan, wakaf, dan haji lebih tepat disebut hukum positif Indonesia ketimbang hukum Islam meskipun diambil dari norma islami," katanya.
 
Menurut dia, sarjana hukum Muslim harus mengetahui bahwa banyak produk hukum positif yang berasal dari norma Islam karena Islam dan hukumnya adalah salah satu sumber hukum nasional.
 
"Alasannya sederhana, Islam sudah menjadi bagian dari kesadaran hukum bangsa ini jangan bicara tentang hukum Pancasila, jangan bicara tentang pemaduan hukum Islam dan hukum positif jika tidak melakukan perubahan paradigmatik dan cara berpikir," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement