Ahad 13 Oct 2013 10:46 WIB

Bolehkah Pria Divasektomi? (2)

Rep: heri ruslan/ Red: Endah Hapsari
Keluarga Berencana, ilustrasi
Keluarga Berencana, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,

Seiring  berkembang teknologi, ternyata vasektomi dapat dipulihkan kembali pada situasi semula. Menyambung saluran spermatozoa (vas deferen) dapat dilakukan oleh ahli urologi dengan operasi menggunakan mikroskop. Namun, menurut MUI, kemampuan untuk dapat mempunyai anak kembali akan sangat menurun tergantung lamanya tindakan vasektomi.

Vasektomi dikenal dengan istilah medis operasi pria (MOP) merupakan salah satu metode kontrasepsi efektif. Menurut BKKBN, kontrasepsi melalui vasektomi memiliki efek samping yang kecil, tingkat kegagalan juga sangat kecil dan berjangka panjang. Lalu berubahkah hukum vasektomi  dalam pandangan Islam setelah teknologi rekanalisasi (penyambungan ulang) ditemukan?

Sebanyak  750 ulama se-Indonesia kembali membahas hukum vasektomi dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Pandangpanjang, Sumatera Barat, pada 2009. Meski teknologi rekanalisasi telah ditemukan, namun MUI tetap berpegang pada fatwa 30 tahun lalu

''Vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB dilakukan dengan memotong saluran sperma. Hal itu berakibat pada kemandulan tetap,'' demikian fatwa tersebut. Setelah mendengarkan keterangan ahli, seperti Prof Farid Anfasa Moeloek dan Furqan la Faried, MUI memandang bahwa upaya rekanalisasi  tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali pria yang divasektomi.

''Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia memutuskan praktik vasektomi hukumnya haram,'' demikian bunyi fatwa terbaru itu.  Pada 1983,  MUI dalam fatwa tentang KB juga menyatakan vasektomi bertentangan dengan hukum Islam. Kecuali, menurut fatwa itu, dalam keadaan terpaksa  (darurat), seperti untuk menghindarkan penurunan penyakit dari ibu/bapak terhadap keturunan yang bakal lahir atau terancamnya jiwa si ibu bila mengandung atau melahirkan lagi.

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait vasektomi dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada 1989. Fatwa itu ditetapkan untuk menjawab pertanyaan, ''Apabila vasektomi dan tubektomi dapat direhabilitasi, bagaimana hukumnya?''

Para ulama NU dalam fatwanya menyatakan, penjarangan kelahiran melalui cara apapun tak dapat diperkenankan, kalu mencapai batas mematikan fungsi keturunan secara mutlak. ''Karenanya sterilisasi yang dapat diperkenankan hanyalahyang bersifat dapat dipulihkan kembali kemampuan berketurunan dan tidak sampai merusak atau menghilangkan bagian tubuh yang berfungsi,'' demikian bunyi fatwa ulama NU itu.

Para ulama NU berpendapat haram mempergunakan sesutu yang dapat memutuskan kehamilan sama sekali, sehingga tak bisa hamil selamanya. Sedangkan, yang hanya memperlambat kehamilan untuk sesuatu waktu dan tidak memutuskannya sama sekai, maka tidak haram dan bahkan tidak makruh jika karena sesuatu alasan, seperti ingin mendidik anak terlebih dahulu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement