REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA - Turki mencabut larangan pemakaian jilbab di institusi-institusi negara, Selasa (8/10). Kebijakan pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan ini mengakhiri pembatasan pada Muslimah berjilbab.
Larangan berjilbab di sektor publik berlangsung selama beberapa dekeda. Ini bermula berdasarkan dekrit kabinet tahun 1925.
Kala itu, pemimpin Turki Kemal Ataturk melakukan reformasi berpakaian. Ia melarang pegawai negeri mengenakan pakaian terkait keyakinan agama.
Akibatnya, tak banyak perempuan Turki bekerja di sektor publik. Erdogan menyebut pencabutan larangan ini sebagai reformasi.
Langkahnya juga bermakna menegakkan nilai demokrasi. Ada kebebasan bagi Muslimah mengenakan pakaian sesuai keyakinan.
“Regulasi yang telah melukai banyak anak muda dan menyebabkan penderitaan berat bagi orang tua serta melahirkan masa kegelapan, sudah berakhir,” kata Erdogan dalam pertemuan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP).
Menurut Erdogan, pelarangan jilbab mendiskriminasi perempuan karena tak punya kesempatan untuk bekerja di kantor pemerintahan.
New York Times melaporkan, berita pagi televisi memperlihatkan pegawai negeri perempuan mengenakan jilbab ke tempat kerjanya.
Pemandangan ini merupakan pertama kalinya sejak berdirinya Republik Turki pada 1923. Peraturan baru tersebut dipublikasikan Official Gazette, jurnal resmi kantor perdana menteri yang memuat legislasi baru yang diberlakukan negara.
Pencabutan larangan jilbab tak mencakup lembaga peradilan, militer, dan kepolisian. Meski demikian, ada keyakinan larangan di tiga lembaga itu pun kelak dicabut.
Pada hari yang sama, kewajiban pembacaan janji kesetiaan pada negara bagi siswa sekolah dasar negeri juga berakhir.
Pendukung Erdogan menyatakan sang perdana menteri hanya menerapkan keseimbangan bagi warganya. Ia pun dinilai mengembalikan kebebasan ekspresi keagamaan bagi mayoritas Muslim di Turki.
“Selama ini, pegawai negeri berjilbab diburu,” kata Safiye Ozdemir, seorang guru di Ankara. Di tempat kerja, selama bertahun-tahun ia harus menanggalkan jilbabnya. Sebetulnya, tindakan itu bertentangan dengan kehendak hatinya.
Namun, pada beberapa bulan terakhir, ia mengabaikan larangan jilbab. Hingga akhirnya larangan tersebut dihapus. Saat ini, kata Ozdemir, perempuan-perempuan berjilbab memiliki haknya kembali. Ia dan Muslimah berjilbab merasa bangga dan bahagia.
“Keputusan ini memang sangat terlambat tetapi setidaknya larangan jilbab dicabut. Alhamdulillah,” kata Ozdemir. Penghapusan larangan jilbab di kantor pemerintah merupakan kelanjutan tindakan Erdogan dua tahun lalu.
Pada 2011, ia mencabut larangan jilbab di universitas. Dengan demikian, para mahasiswi memiliki kebebasan untuk mengenakan jilbab mereka. Sebelumnya, mereka tak boleh berjilbab. Sebagian mahasiswi berjilbab memutuskan kuliah di Bosnia.
Sejumlah pengamat mengatakan, Erdogan benar-benar berhasil menjinakkan militer, penjaga sekularisme. “Tak berlakunya lagi larangan jilbab di kantor pemerintah merupakan puncak kemenangan Erdogan atas militer,” jelas para pengamat.
Pendukung sekularisme kini kebakaran jenggot. Mereka menganggap Erdogan sedang melakukan Islamisasi di Turki. Menurut mereka, pencabutan larangan jilbab tak berkaitan dengan demokratisasi di Turki.
Hasan Cemal, seorang penulis, yang dikutip laman berita T24 meminta semua berlaku seimbang. “Jika kita mendengungkan kesetaraan, larangan jilbab di kantor-kantor pemerintah memang perlu dicabut,” katanya.
Di sisi lain, Cemal pun menginginkan agar pemerintah tak melarang perempuan yang memutuskan tak berjilbab.