REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Nashih Nashrullah
Hormati perbedaan terkait hukum shalat sunat ini
Diskusi terkait persoalan yang satu ini seakan tak bermuara. Sebagian orang, terus saja mempermasalahkan apakah ada atau tidak shalat sunat rawatib sebelum jumat (qabliyah).
Tak jarang, perbincangan itu memicu saling klaim dan menuduh antara satu kelompok dan lainnya. Padahal pemandangan kurang sedap semacam itu bisa dihindari.
Syekh Abdul Malik Abdurrahman as-Sa'di menegaskan, tak semestinya bahasan ini dijadikan sumber perpecahan di antara umat.
Ini karena perkara ada atau tidak shalat sunat rawatib qabliyah Jumat termasuk persoalan skunder dalam agama. Apalagi, sampai menuding bid'ah dan sesat bagi kelompok yang berbeda.
As-Sa'di mengutarakan, pada dasarnya para ulama mufakat ada shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum pelaksanaan shalat Jumat.
Atas dasar itulah, siapa pun yang mengerjakan shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum shalat Jumat hukumnya boleh. “Jangan dianggap bid'ah,” tuturnya.
Terlebih, shalat tersebut dikerjakan pada waktu yang tidak dilarang shalat, sehingga siapa pun bisa shalat sunat mutlak kapan pun, selama tidak di masa-masa-masa yang dimakruhkan.
Selanjutnya, termasuk kategori apakah shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum Jumat tersebut? Para ulama berselisih pandang.
Pendapat yang pertama menyatakan shalat sunat tersebut adalah shalat qabliyah Jumat. Minimal dua rakaat dan lebih afdal lagi empat rakaat. Ini adalah opsi yang dipilih mayoritas ulama mazhab, antara lain, mazhab Syafi'i dan Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Hanbali.
Di kalangan sahabat, ada Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair. Di generasi berikutnya terdapat nama Imam ats-Tsauri, an-Nakha'i, dan Abdullah bin al-Mubarak.
Dalil kubu pertama, antara lain, ialah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mughafal. Hadis itu menyatakaan di antara waktu menunggu azan dan iqamat, terdapat shalat sunat rawatib.
Ini diperkuat dengan riwayat Abdullah bin Zubair yang dinukilkan Ibnu Hibban. Hadis itu menyatakan, di setiap shalat fardhu pasti ada shalat sunat dua rakaat sebelumnya.
Ibnu Hajar, lantas berkomentar di kitabnya Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, legalitas shalat sunat dua rakaat qabliyah Jumat bisa mengacu pada hadis nukilan Ibnu Abbas di atas.
Penuturan Abdullah bin Umar, turut pula dijadikan sebagai pendukung argumentasi kelompok ini. Bahwa, Rasulullah SAW tidak melewatkan shalat sunat sebelum Jumat.
Sedangkan, pendapat yang kedua mengemukakan, tidak terdapat shalat sunat qabliyah Jumat. Karenanya, semestinya menghindari niat shalat sunat tersebut.
Ini karena shalat sunat dua rakaat atau empat rakaat tersebut masuk kategori shalat sunat mutlak, bukan qabliyah.
Opsi ini diamini sebagian besar Mazhab Hanbali, Maliki, dan salah satu riwayat dalam mazhab Syafi'i. Ibnu Taimiyah dan Ibn al-Qayim mengacu pula pada pendapat ini.
Argumentasi yang dikemukakan oleh kubu ini, antara lain, hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar. Rasul menegaskan di nukilan itu bahwa shalat sunah qabliyah tidak disebutkan. Yang tertera hanya shalat sunat qabliyah dan ba'diyah Zhuhur.
Ini diperkuat riwayat Bukhari dari as-Saib bin Yazid. Ketika Rasul berkhutbah Jumat, nyaris tidak ada jeda antara khutbah dan shalat, sehingga tidak memungkinkan melakukan shalat sunat di sela-sela waktu itu.
Komisi Fatwa Lembaga Wakaf Uni Emirat Arab menyatakan tema ini telah dibahas secara objektif oleh para ulama generasi salaf dengan tetap menjaga etika perbedaan dan berdialog.
Bisa jadi, shalat sunat sebelum Jumat tersebut adalah shalat sunat mutlak, baik yang dilakukan sebelum waktu shalat Jumat tiba, atau sesudah zawal, sebelum imam berkhutbah. Ini hukumnya boleh dan disunatkan. Perbedaan muncul jika shalat sunat yang dimaksud dikategorikan sunat qabliyah.
Usai mengutarakan deretan pendapat ulama, seperti yang tersebut di atas, lembaga ini mengimbau pula agar hendaknya masing-masing kelompok tidak lantas fanatik dan menyalahkan pendapat kubu yang berbeda.
Topik ini termasuk ranah ijtihad. Apalagi, menuding pihak yang berselisih pandang dengan klaim bid'ah atau telah bermaksiat, sungguh tindakan yang kurang arif dan bijak.
Lembaga ini juga tak lupa mengingatkan bagi mereka yang berpendapat terdapat shalat sunah sebelum Jumat, pastikan bahwa shalat tersebut dilakukan tepat pada waktunya, tidak boleh dimajukan atau diakhirkan waktu pelaksanaannya, yaitu ketika waktu shalat Jumat tiba, tepat masa /zawalsaat matahari tergelincir di awa siang.
Ba'diyah
Berikutnya, terkait hukum shalat sunat sesudah Jumat (ba'diyah), para ulama mazhab sepakat hukumnya sunat karenanya boleh dilakukan. Minimal rakaatnya dua dan lebih utama empat rakaat.
Ini bisa dirujuk, antara lain, di berbagai kitab ulama mazhab masing-masing, sebut saja kitab al-Ikhtiyar yang bercorak Hanafi, al-Istidzkar bermazhab Maliki, al-Minhaj dan Mughni al-Muhtaj dari kalangan Syafi'i, sedangkan kitab al-Kafi dan Nail al-Maarib mewakili mazhab Hanbali.
Hukum Qabliyah Jumat
Sunat:
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair, Imam ats-Tsauri, an-Nakha'i, dan Abdullah bin al-Mubarak. Dan, mayoritas mazhab yakni, Hanafi, Syafi'i, dan sebagian ulama mazhab Hanbali. Di generasi berikutnya terdapat nama.
Bukan qabliyah, tetapi sunat mutlak:
Mazhab Hanbali, Maliki, dan salah sat riwayat dalam mazhab Syafi'i. Ibnu Taimiyah dan Ibn al-Qayim.