REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah
Anjuran menghadiri pelaksanaan shalat Idul Fitri bertujuan, antara lain, mengangkat syiar agama Islam
Pada Hari Raya Idul Fitri segenap Muslim tengah berbahagia dan saling berbagi sukacita, bersilaturahim, dan maaf-memaafkan. Idul Fitri merupakan syiar Islam yang utama. Setelah sebulan berpuasa dan menjalankan rangkaian ibadah, pada hari kemenangan tersebut asma Allah SWT diagungkan. Pun, bertakbir, bertahmid, dan mendirikan sunah shalat Idul Fitri.
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.” (QS al-Baqarah [2]:185)
Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat berbondong-bondong menuju masjid untuk menghidupkan syiar Shalat Idul Fitri. Lantas, bagaimana hukum seorang Muslimah menghadiri dan shalat Idul Fitri? Bagaimana bila yang bersangkutan berhalangan lantaran uzur tertentu?
Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar’ati menjelaskan, para Muslimah dianjurkan untuk hadir ke masjid untuk meramaikan shalat Idul fitri. Baik perempuan tersebut telah bersuami ataupun masih lajang. Tua muda, perawan, atau janda. Anjuran menghadiri masjid untuk meramaikan syiar shalat Idul Fitri ini ditujukan pula ke para Muslimah yang tengah menstruasi. Cukup mendatangi pelataran atau daerah sekitar masjid.
Sunah menghadiri masjid untuk menyemarakkan Idul Fitri itu tercatat secara jelas di hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang dinukilkan dari Ummu Athiyyah. Shahabiyat (julukan untuk sahabat perempuan) yang dikenal sebagai perawi hadis itu mengisahkan bahwa Rasulullah menyerukan kalangan Muslimah agar keluar rumah dan menuju masjid untuk meramaikan Idul Fitri dan Idul Adha.Baik anak kecil, gadis, atau yang sedang mengalami menstruasi sekalipun.
Bagi mereka yang sedang haid maka tak perlu mengikuti shalat Idul Fitri. Cukup hadir di pelataran masjid. Ini agar mereka bisa turut menyaksikan dakwah dan kebajikan Idul Fitri. Dan hendaknya, tetap menutup aurat, seperti mengenakan jilbab, demikian sabda Rasul sesuai redaksi Imam Muslim.
Sedangkan di riwayat Bukhari, diuraikan lagi maksud dari anjuran bagi Muslimah yang tengah haid agar tetap hadir di masjid tempat shalat Idul Fitri atau Idul Adha berlangsung. Bila tengah “datang bulan”, yang bersangkutan hendaknya berada di belakang barisan jamaah dan turut bertakbir, ikut berdoa, dan bersama-sama berharap keberkahan dan kesucian kedua hari raya tersebut.
Dalam kajian para ahli fikih, persoalan ini pun mengundang perhatian. Menurut Mazhab Hanbali dan Maliki, perempuan boleh ikut hadir di daerah sekitar masjid saat shalat Idul Fitri atau Adha berlangsung. Seyogianya tetap menjaga etika dengan tidak memakai parfum yang berlebihan, mengenakan baju yang mencolok, atau bersolek tak wajar.
Sedangkan bagi yang berhalangan, misalnya sakit atau uzur karena faktor usia yang tak lagi memungkinkan maka tak perlu ikut hadir dan shalat Idul Fitri atau Adha.
Selain itu, di kalangan Mazhab Maliki dan Hanbali, bagi remaja-remaja putri atau gadis belia tidak boleh ikut hadir ke masjid, baik untuk shalat atau sekadar meramaikan syiar tersebut. Ini dimaksudkan untuk menghindari munculnya fitnah. Sedangkan, bagi Muslimah yang paruh baya atau tak lagi muda, diperbolehkan menghadiri masjid untuk kepentingan di atas.
Di pengujung uraiannya, Prof Abdul Karim Zaidan menambahkan saran bagi para Muslimah yang ingin menghadiri shalat Idul Fitri atau Adha di masjid bersama-sama dengan segenap Muslim, yaitu supaya menjaga etika-etika Islami, seperti tidak berpenampilan mencolok atau berlebihan, tetap menutup aurat, tidak mengenakan parfum yang mengundang ketertarikan, dan agar bersikap sopan serta tidak melakukan aktivitas yang justru bisa mengurangi kemuliaan dan kehormatannya sebagai perempuan.