REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Nashih Nashrullah
Mayoritas ulama sepakat hukum qunut di separuh terakhir Ramadhan adalah sunat. Tapi, mereka berbeda pendapat soal hukum qunut saat witir di luar bulan suci itu.
Qunut, dalam bahasa Arab memiliki beragam makna. Qunut bisa berarti diam dan menahan diri dari berbicara apa pun.
Seperti yang disebutkan oleh sahabat Zaid bin Arqam, konon para sahabat ketika itu masih sering berbicara saat sedang shalat sampai ayat ke-238 dari surah al-Baqarah turun.
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.”
Qunut juga bisa bermakna berdiri, beribadah, atau ketaatan. Tapi, kata Ibn Manzhur, makna qunut yang paling populer adalah doa.
Sedangkan, hakikat qunut adalah doa yang dilakukan dengan berdiri di atas kedua kaki. Sedangkan, pengertian qunut menurut pengertian syar'i adalah doa yang dilakukan dengan berdiri di rakaat terakhir saat shalat-shalat tertentu.
Pembacaan qunut, seperti yang dinukilkan di berbagai kitab fikih mazhab, banyak dilakukan di sejumlah shalat, baik sunat ataupun wajib.
Salah satunya, yang tak asing lagi ialah qunut di rakaat terakhir shalat witir. Apa hukum qunut ketika shalat witir, baik ketika Ramadhan ataupun hari-hari biasa?
Menurut dosen fikih perbandingan di Fakultas Tarbiyah Islam Universitas Al-Quds Terbuka Palestina, Dr Ismail Syandi, dalam bukunya yang berjudul Ahkam al-Qunut fi al-Fiqh al-Islamy, para ulama mazhab berbeda pendapat menyikapi persoalan qunut di rakaat terakhir shalat witir.
Dalam pandangan kelompok yang pertama, kategori qunut ini hukumnya sunat. Pelaksanaannya tidak terbatas saat Ramadhan, tetapi juga berlaku tiap kali melakukan witir di sepanjang tahun.
Pendapat ini dipopulerkan, antara lain, Abu Yusuf dan Muhammad dari mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, Imam Sahnun dari mazhab Maliki, Ibnu Mas'ud, Imam an-Nakha'i, Ishaq, al-Hasan al-Bashri, ats-Tsauri, dan Abdullah Ibn al-Mubarak. Riwayat tertentu dari mazhab Syafi'i.
Sejumlah dalil menjadi dasar pandangan kelompok ini. Di antaranya, hadis Ubai bin Ka'ab yang dinukilkan oleh beberapa kitab sunan, seperti Sunan Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasai.
Hadis itu menyebutkan bahwa bahwa Rasulullah SAW membaca qunut ketika shalat witir di rakaat terakhir sebelum rukuk. Hadis ini diperkuat dengan riwayat lain dari Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Abbas, dan Ali bin Abi Thalib.
Dalil-dalil di atas, menurut pandangan kelompok pertama, menunjukkan bahwa Rasul kerap qunut saat shalat witir di sepanjang tahun, tak cuma ketika Ramadhan.
Apalagi, qunut tersebut juga berfungsi sebagai doa. Maka, seyogianya doa tidak hanya dipanjatkan hanya saat Ramadhan.
Sedangkan, menurut pandangan kubu yang kedua, qunut di rakaat terakhir shalat witir hanya dianjurkan di separuh terakhir dari Ramadhan.
Opsi ini merupakan pendapat yang populer di kalangan mazhab Syafi’i dan pendapat Imam Malik seperti yang dinukilkan oleh riwayat Ibnu Habib.
Demikian pula pendapat Imam Ahmad di salah satu riwayat. Deretan nama ulama salaf juga mendukung pendapat ini, seperti Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka'ab, Abdullah bin Umar, Qatadah, Ibn Sirin, Sa'id bin Abi al-Hasan, az-Zuhri, Ibn al-Mundzir, Yahya bin Tsabit, az-Zubairi, dan Abu Bakar al-Atsram.
Kelompok ini merujuk pendapat mereka ke sejumlah dalil, antara lain, riwayat dari Umar bin Khatab. Konon, sahabat Rasul berjuluk al-Faruq itu pernah mengumpulkan para sahabat untuk shalat tarawih ketika Ramadhan.
Dan, sepanjang pelaksanaannya, doa qunut hanya dipanjatkan di separuh terakhir bulan suci itu. Di hadapan sahabat, ketentuan qunut ini tidak ada yang menyangkal satu pun.
Hadis yang kedua adalah riwayat Anas bin Malik yang terdapat di Sunan al-Baihaqi. Sekalipun, riwayat ini dihukumi lemah oleh sejumlah ulama hadis, seperti Ibn 'Addi dan adz-Dzahabi.
Terdapat satu lagi opsi pendapat yang menyatakan bahwa, pembacaan qunut itu dianjurkan sepanjang Ramadhan, tidak sekadar berlaku di separuh terakhir bulan suci itu.
Pandangan ini merupakan salah satu riwayat di mazhab Syafi'i. Imam an-Nawawi menyandarkan pendapat ini pula ke salah satu riwayat dari Imam Malik.
Bahkan, pendapat lain mengutarakan pada hakikatnya yang dimaksud dengan qunut bukan doa, tetapi melaksanakan shalat dengan berdiri dan khusyuk. Karenanya, hukum qunut saat shalat, tak terkecuali witir, adalah makruh.
Menurut Ibn al-Qasim dan Ali, pandangan ini dinukilkan dari Imam Malik. Tetapi, pendapat yang populer di mazhab Maliki, yaitu hukum qunut makruh. Bahkan, Imam Thawus menyatakan qunut ketika witir adalah bid'ah. Hanya saja, pendapat ini tidak populer dan lemah.
Hukum Qunut:
Sunat, waktunya sepanjang tahun:
Abu Yusuf dan Muhammad dari Mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali, Imam Sahnun dari Mazhab Maliki, Ibnu Mas'ud, Imam an-Nakha'i, Ishaq, al-Hasan al-Bashri, ats-Tsauri, dan Abdullah Ibn al-Mubarak. Riwayat tertentu dari mazhab Syafi'i.
Sunat, terbatas di separuh terakhir Ramadhan:
Mazhab Syafi’i dan pendapat Imam Malik menurut riwayat Ibnu Habib. Imam Ahmad di salah satu riwayat. Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka'ab, Abdullah bin Umar, Qatadah, Ibn Sirin, Sa'id bin Abi al-Hasan, az-Zuhri, Ibn al-Mundzir, Yahya bin Tsabit, az-Zubairi, dan Abu Bakar al-Atsram.
Sunat, sepanjang Ramadhan:
Salah satu riwayat di mazhab Syafi'i. Imam an-Nawawi menyandarkan pendapat ini pula ke salah satu riwayat dari Imam Malik.
Makruh, di tiap witir:
Mazhab Maliki di riwayat paling populer.
Bid'ah di tiap witir:
Thawus




