Jumat 02 Aug 2013 13:35 WIB

Nafisah Legenda Sufi Perempuan

Gurun pasir (ilustrasi)
Foto: .free-extras.
Gurun pasir (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Nashih Nashrullah

Kezuhudan yang ia tekuni mengangkat derajatnya di hadapan Sang Khaliq dan sesama hamba.

Konsistensi Nafisah di jalan zuhud tercatat dalam sejarah emas sufisme di Dunia Islam. Hingga ajal menjemput, sosok keturunan Rasulullah SAW ini, pada Ramadhan 208 H, nuansa kezuhudannya itu sangat kental. Ia meninggal dalam kondisi berpuasa. Permintaan untuk membatalkan puasanya tak ia gubris. Ia wafat dengan kemuliaan.

Ia membaca, “Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) pada sisi Tuhannya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.” (QS al-An'aam [6]: 127). Dengan untaian kalimat syahadat, ia menghadap Tuhan-Nya. Meninggalkan kisah keteladanan yang kekal dan mewangi.

Nafisah, di sudut rumahnya, ia menggali tanah hingga menyerupai liang lahat. Di lubang itulah, ia shalat dan banyak menelaah Alquran. Seperti dikisahkan, ia membaca Alquran sebanyak 190 kali di lokasi itu.

Ketekunannya itu tak luput dari perhatian sang suami. Ia meminta agar Nafisah memperhatikan pula kondisi fisiknya. Ia tetap konsisten di jalannya. “Barang siapa yang beristiqamah bersama-Nya, maka alam semesta ada di genggaman dan akan menaatinya,” katanya.

Nafisah adalah sosok yang berhati-hati (wara'), tak terkecuali soal makanan. Ia tidak pernah memakan apa pun kecuali dari harta suaminya. Ini berdampak pada kekuatan doa yang ia panjatkan. Doa Nafisah terkenal mujarab.

Konon, Imam Ahmad bin Hanbal pernah sengaja meminta doanya. Satu persatu warga Mesir mulai menyadari kedudukan Nafisah. Tiap hari mereka memadati rumah Nafisah. Ada yang ingin belajar, sebagiannya ingin mengharapkan doa.

Kondisi ini membuatnya resah. Ia semakin sulit beribadah. Waktunya tersita. Ia memutuskan meninggalkan Mesir dan kembali ke Madinah. Tak lama kabar itu terdengar, otoritas Mesir, Sirr al-Hakim, turun tangan.

Sang penguasa mencegah rencana tersebut. Sebagai solusi, tempat tinggal Nafisah dipindahkan ke kawasan Darb as-Siba'. Jadwal kunjungan dibatasi hanya dua hari, yaitu Sabtu dan Rabu.

Konsep dan pola tasawuf yang ia tekuni tak antisosial. Tokoh yang telah berhaji sebanyak 30 kali ini adalah sosok yang peduli sesama, suka memberi, dan menolong mereka yang membutuhkan atau teraniaya. Ia pernah menolong seorang hartawan yang terampas haknya oleh pemerintah.

Ia menentang keras kezaliman tersebut dan berjuang agar hak tersebut dikembalikan. Perjuangannya terkabul. Hartawan itu akhirnya memberikan hadiah 100 ribu dirham. Ini sebagai ucapan terima kasih. Ia terima hadiah itu dan membagikannya untuk fakir miskin kendati ia sendiri hidup serbakekurangan.

Berilmu

Di jagat ilmu agama dan pengetahuan, namanya tersohor: Nafisah binti al-Hasan. Cucu Rasulullah SAW kelahiran Makkah 145 H itu mahir menguasai berbagai disiplin ilmu. Tumbuh dan berkembang di Madinah, mencetaknya sebagai pribadi yang matang. Ia berhasil menghafal Alquran saat ia masih kecil. Ia pun belajar tafsir dan hadis, hingga ia lihai di kedua bidang itu.

Ayahnya, Zaid bin al-Hasan, adalah gubernur Madinah ketika Khalifah Abu Ja'far al-Manshur berkuasa. Akibat persaingan politik, Zaid ditangkap dan diasingkan ke Baghdad. Seluruh hartanya disita. Nafisah pun menyertai ayahandanya ke Baghdad. Zaid dinyatakan bebas saat Khalifah al-Mahdi naik takhta. Al-Mahdi mengembalikan kekayaan Zaid.

Bersama sang suami, Ishaq al-Mu'tamin bin Imam Ja'far as-Shadiq, tokoh yang bernama   lengkap Nafisah binti al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib itu pindah ke Madinah. Ia hidup dengan penuh kedamaian.

Di kota itu, ia mulai membuka kelas untuk belajar di rumahnya. Para pelajar berbondong-bondong ke rumahnya untuk mencari ilmu. Ia berbagi banyak sanad hadis. Sering pula memberikan fatwa atas persoalan tertentu. Atas prestasinya itu, ia mendapat gelar “Gudang Ilmu Pengetahuan”.

Pada 193 H ia pindah ke Mesir ditemani oleh suami dan ayah tercinta. Penduduk Mesir menyambutnya dengan antusias. Kegembiraan tampak terpencar di raut wajah mereka. Ia tinggal di kediaman salah satu tokoh Mesir Ibn al-Jashsash yang terletak di Fustat.

Di Negeri Piramida itu, ia mendapatkan penghargaan yang luar biasa. Warga Mesir berduyun-duyun belajar kepadanya. Sejumlah ulama senior pun turut menggali ilmu darinya secara langsung, di antaranya Imam Syafii. Ia sering menghadap ke ibu dari Qasim dan Ummu Kultsum tersebut. Pertemuan antarkeduanya berlangsung secara terpisah di belakang pembatas ruangan. Diskusi mengalir tentang soal apa pun, mulai dari fikih, hadis, dan ibadah.

Intensitas dan frekuensi pertemuan itu menumbuhkan hubungan emosional yang kuat antara guru dan murid. Ketika Imam Syafii sakit parah, ia meminta Nafisah mendoakannya agar cepat sembuh. Selang beberapa hari, peletak Mazhab Syafii itu wafat. Ia berwasiat supaya Nafisah berkenan menshalati jenazahnya. Ia memenuhi wasiat itu. Kepergian Syafii menjadi pukulan berat baginya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement