Selasa 23 Jul 2013 09:35 WIB

Kiprah Ponpes di Papua

Rep: cr01/ Red: Damanhuri Zuhri
Santri AFKN
Foto: rol
Santri AFKN

REPUBLIKA.CO.ID,

Sudah 31 tahun Ponpes Istiqamah berjuang dengan segala keterbatasannya.

JAYAWIJAYA — Dinginnya angin pegunungan di kaki Gunung Jayawijaya mengiringi kegembiraan santri Pondok Pesantren (Ponpes) Istiqamah Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Cabang Jayawijaya Walesi, Kabupaten Wamena, Papua.

Sekalipun dengan ekspresi wajah malu-malu, air muka sukacita tampak jelas di wajah mereka. Betapa tidak, sore itu, Sabtu (20/7), ponpes yang terletak di kaki gunung tertinggi di Indonesia itu kedatangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh.

Para santri satu per satu bersalaman dan mencium tangan Mendikbud penuh santun, demikian juga kepada para rombongan menteri. Selanjutnya, ketua Yayasan Istiqamah memandu rombongan untuk berkeliling kawasan pesantren.

“Kita salut selama puluhan tahun di sini ada suku yang memeluk Islam. Ini kesempatan bagus untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di Papua. Kita dorong terus adik-adik kita ini untuk belajar. Insya Allah, 10-15 tahun lagi akan punya prestasi yang luar biasa,” kata Nuh.

Pesantren yang didirikan sejak 1982 itu terus bertahan hingga kini. Tak jelas siapa orang pertama yang mendirikannya. Kabarnya, seorang ulama yang datang dari Madura, Jawa Timur, pernah menetap di tempat tersebut.

Selanjutnya, ulama yang disinyalir bernama H Nirsu Gunarso itu mendirikan lembaga pendidikan untuk warga Muslim sekitar. Dari sanalah cikal bakal berdirinya Ponpes Istiqamah. Namun, kebenaran kisah ini masih simpang siur.

Kepala Sekolah Ponpes Istiqamah Anwar Mas’ud mengatakan, tenaga pengajar memang mereka datangkan dari luar Papua. “Ada dari Madura dan Makassar. Semua sembilan orang. Yang asli orang sini ada, cuma satu orang,” jelas pria yang telah 11 tahun mengelola sekolah tersebut.

Tak hanya Anwar, tenaga pengajar pun dengan bangganya menunjukkan hasil belajar dan perkembangan anak didiknya yang luar biasa. Dari grafik yang tertera di papan tulis, para santri lebih dominan diberikan materi-materi agama.

Selain pelajaran berupa fikih dan akhlak, tahfiz Alquran merupakan materi utama yang harus diikuti seluruh santri. Di balik wajah malu-malu para santri, ternyata mereka telah menorehkan prestasi luar biasa.

Anwar mengatakan, hingga saat ini, kebanyakan pemasukan datang dari donatur. Sekolah yang tidak memungut biaya dari santri membuat pengurus yayasan berpikir keras mencukupi kebutuhan santri dan ustaz.

Anwar pun sering membuat proposal dan mengajukan bantuan kepada beberapa donatur Muslim di Wamena. “Biasanya, dana dari donatur. Hasil dari proposal yang kita buat,” ujarnya.

Para ustaz dan ustazah yang mengajar di sana lebih tepat disebut sebagai relawan. Kendati digaji, hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, sebenarnya sangat kurang dari gaji standar seorang guru dan standar untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement