REPUBLIKA.CO.ID, Hasan al-Bashri tentu bukan nama asing bagi kaum Muslimin. Kata-kata mutiara dan nasihatnya selalu mampu membuat Muslimin mengucurkan mata. Dia merupakan ulama ternama pada era tabi'in, murid para sahabat dan ahlul bayt.
Ayahnya merupakan yassar, pembantu sahabat Rasulullah yang terkenal sebagai penulis Alquran, Zaid bin Tsabit. Ibunya merupakan khairoh, maula salah seorang istri nabi, Ummu Salamah. Nama al-Hasan pun merupakan pemberian sang ummul mukminin. Dia lahir di Madinah pada 642 Masehi, sembilan tahun setelah Rasulullah wafat.
Meski lahir dengan status orang tua sebagai mantan budak, Hasan besar di tengah-tengah kasih dan sayang para keluarga dan sahabat Nabiyullah Muhammad. Ummul mukminin Ummu Salamah bahkan menjadi ibu susu dari al-Hasan. Al-Hasan kecil pun belajar di rumah-rumah para istri Rasulullah yang kala itu masih hidup. Ia juga rajin ke masjid Nabawi untuk mendengarkan kajian ilmu dari para sahabat Rasulullah. Khalifah Umar Bin Khattab pun pernah mendoakannya menjadi orang yang fakih dalam beragama dan dicintai semua orang.
Bergaul dengan para sahabat Rasul sejak kecil membuat al-Hasan tumbuh menjadi pemuda yang saleh. Ia meriwayatkan banyak hadis dari para sahabat Rasul, seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, dan masih banyak lain. Saat usia 14 tahun, ia pindah ke Kota Bashrah, Irak. Dari sinilah dia kemudian mendapat nama al-Bashri karena mengacu pada kota Bashrah.
Tinggal di Irak tak membuatnya berhenti belajar. Ia pun kemudian menjadi murid salah seorang sahabat Rasul, Abdullah bin Abbas. Dari Ibnu Abbas-lah, Hasan belajar tafsir, hadis, dan qiraah. Dalam hal sastra, Hasan belajar dari Ali Bin Abi Thalib.
Ia mengangumi sang khalifah keempat karena lisannya yang penuh nasihat dan hikmah. Hasan juga sempat diasuh istri Rasul, Ummu Salamah, yang dikenal paling berwawasan luas. Di bidang lain, Hasan bergilir mengikuti majelis sahabat satu ke yang lain. Alhasil, jadilah dia sangat fakih dalam ilmu agama.
Saat tiba menjadi seorang guru, banyak sekali murid yang menghadiri halaqahnya. Ia menjadi cendekiawan Muslim ternama dari Kota Bashrah. Setiap dia mengisi ceramah maka pendengarnya pasti meneteskan air mata. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah, menjadi tema yang sangat apik dibawakannya hingga menggugah hati siapa saja yang mendengarnya.
Tak hanya kepada masyarakat biasa, al-Hasan juga sering kali menjadi penasihat para amirul mukminin. Salah satu pemimpin Muslimin yang pernah mendapat nasihat dari dia, yakni Khalifah Abd al-Malik dari Dinasti Umayyah.
Dia amat pandai dalam membuat sastra. Nasihat-nasihatnya untuk Muslimin selalu memiliki nilai sastra yang tinggi. Bahkan, khotbah-khotbah yang pernah diucapkan, serta surat-surat yang pernah ditulis, diabadikan oleh masyarakat Arab sebagai rujukan utama pembelajaran prosa Arab.
Pasalnya, lisannya sangat cerdas memainkan kalimat sastra, sementara bangsa Arab sangat dikenal lisannya yang indah. Bahkan, hingga kini, ucapan al-Hasan masih menjadi kata bak mutiara yang selalu menjadi rujukan untuk nasihat-nasihat indah.
Beberapa contoh nasihatnya, antara lain, “Anak Adam! Kalian bukanlah apa-apa kecuali hanyalah sebuah hitungan hari. Setiap kali hari itu lewat maka sebagian darimu pun pergi menghilang”, “Kematian menunjukkan realita hidup. Tidaklah kematian meninggalkan kebahagiaan kecuali bagi orang-orang yang bijak”.
Kalimat tersebut dalam bahasa Arab jauh lebih indah daripada sekadar alih bahasa Indonesia. Namun, setiap kata nasihatnya selalu menghasilkan perenungan yang amat menyentuh hati.
Setelah menghabiskan usianya menjadi penasihat Muslimin, al-Hasan menutup mata selama-lamanya. Dia wafat dalam usia 86 tahun pada Jumat malam, 5 Rajab 110 Hijriyah atau 728 Masehi di Bashrah. Kota tersebut serta merta tak berpenghuni. Seluruh penduduknya menghantar jenazah sang ulama fakih ke pembaringannya terakhir. Kota begitu diliputi kesedihan yang amat dalam. Semoga Allah merahmati al-Hasan al-Bashri.