REPUBLIKA.CO.ID, LILONGWE -- Diejek dan dilecehkan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Muslimah Malawi. Jilbab yang mereka kenakan bila diibaratkan seperti papan tembak yang siap "didor" peluru rasisme kapan saja.
Situasi itu tidak membuat Muslimah Malawi gentar. Mereka justru perjuangkan haknya dengan berbagai cara termasuk melalui jalur politik. Perlahan tapi pasti, kerja keras Muslimah pun membuahkan hasil. Jilbab yang dahulu dimusuhi mulai diterima.
"Kami telah melalui masa menyakitkan dan tidak manusiawi," kata Mwalone Jangiya, anggota Majelis Nasional Malawi seperti dikutip Onislam, Ahad (16/6).
Mwalone mengatakan jilbab pada satu waktu merupakan kejahatan. Kini, setiap Muslimah bebas untuk mengenakannya. "Saya pun kenakan jilbab. Tanpa ada orang dengan mata melotot melihat kain menutupi kepala saya," ujar dia.
Komunitas Muslim Malawi merupakan minoritas. Sebelum tahun 1990-an, jarang ditemu Muslimah berjilbab. Kalau pun ada, mereka jadi sasaran empuk pelaku rasisme. Hari ini, jilbab telah menjadi pandangan umum di jalanan Malawi.
Bagi mereka yang baru pertama kali tiba di Malawi, maka akan terpikir situasi ini sudah ada sejak lama. Kenyataannya bukan demikian. Butuh waktu panjang bagi masyarakat Malawi menerima jilbab.
"Kami mendapatkan kebebasan untuk waktu yang lama. Sejak saat ini, jilbab telah menjadi simbol kebebasan Muslim Malawi," kata Khadijah Hamda, anggota dewan eksekutif Ogranisasi Muslimah Malawi.
Biro Informasi Islam (IIB) Sheikh Dinala Chabulika mengatakan di masa lalu muslimah berjilbab dianggap primitif dan terbelakang. Seiring perjalanan waktu, berkat kerja keras Muslimah terjadi perubahan pandangan publik tentang jilbab.
Harus diakui, pemerintahan presiden Muslim pertama Malawi, Bakili Muluzi (1994-2004) telah mengubah pandangan masyarakat Malawi terhadap Islam. Presiden Muluzi menjadi jembatan komunikasi yang efektif dalam mendekatkan Muslim dengan umat agama lain.
"Beliau membuat satu pandangan penting dimana Islam bukan penghalang kemajuan," kenang Imran Shareff, cendikiawan Muslim.