Selasa 11 Jun 2013 23:39 WIB

Mualaf: Muslim Tak Butuh Perantara Ketika Berdoa

Rep: Agung Sasongko/ Red: Citra Listya Rini
Mualaf (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Mualaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Martin Guevarra Abella lahir di Manila, Filipina. Ia dibesarkan dalam tradisi Katolik. Setiap pekan, ia tak pernah melewat misa. 

Semasa kecilnya, Martin tertarik mendalami Alkitab. "Sayang, apa yang aku baca tidak pernah memperkuat imanku, justru aku mempertanyakan praktik Katolik," kenang dia seperti dikutip Islamreligion, Selasa (11/6).

Martin kecil mempertanyakan mengapa umat Katolik berdoa kepada patung dan memiliki satu Tuhan dengan tiga persona. Ia juga kebingungan dengan sakramen yang berbeda dari gereja Katolik seperti baptis, pernikahan dan lainnya. 

Pertanyaan ini coba ia komunikasikan dengan para uskup dan biarawatu,"Yang saya dapat, mereka tidak menjawab pertanyaanku," kata dia.

Pada usia 21 tahun, Martin menikah muda. Pada momen ini, ia tidak lagi menjadi seorang Katolik. Ia mulai absen menghadiri misa. Apa yang Martin lakukan saat itu adalah mencari kebenaran. 

Ia memulai pencarian itu melalui ajaran Protestan. Namun, ada keanehan yang ditemukan Martin. Tak puas dengan ajaran Protestan, ia mulai mendekati komunitas Saksi-saksi Yehuwa. Lagi-lagi, hati dan pikiran Martin tidak bisa menerimanya. 

Menurut Martin, yang benar disebut Yehuwa adalah Yahwe. "Tidak ada vokal dalam bahasa Ibrani," kata dia. Merasa lelah dengan pencarian itu, Martin memutuskan untuk jeda sejenak. Ia memutuskan untuk bekerja di Mindanao. 

Di sana, ia pertama kali bersinggungan dengan Muslim. Kesempatan ini ia manfaatkan betul guna mempelajari Islam. Satu hal yang sebenarnya tidak pernah terpikirkannya.

Dasar pengetahuan Martin soal Muslim tak jauh dengan pengacau, terorisme, poligami, penculik dan pelaku bom bunuh diri. Pada tahap ini, ada penolakan dalam diri Martin. Namun, perlahan penolakan itu mulai menghilang. 

Ada satu hal yang membuat Martim kagum dengan ajaran Islam. "Muslim tidak perlu perantara ketika berdoa. Islam juga tidak mengajarkan kekerasan," kata dia.

Butuh dua tahun, ketika ia tidak lagi menjadikan Alkitab sebagai batu sandaran mencari kebenaran. Martin mulai membaca kitab suci yang menurutnya patut untuk jadi pijakan, yakni Alquran. 

"Banyak pelajaran penting yang sata dapat. Saya memahami enam rukun iman dan lima rukun Islam. Aku punya keyakinan sehingga memberanikan diri mengucapkan syahadat," ujar Martin.

Ia menambahkan, "Hidup ini tidak hanya kehidupan dunia saja. Tanpa memeluk Islam dan menghabiskan waktu tanpa menyembah-Nya membuat hidup penuh masalah," ucap Martin mantap. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement