REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta, dibangun guna menjembatani antara umat Islam dan kalangan etnis keturunan Cina. Misi ini masih diemban hingga kini.
Hal itu diungkap pimpinan masjid Lautze, Ali Karim Oey, kepada perwakilan mahasiswa Universitas Michigan dan Universitas Lehigh, Pennyslyvania, AS, saat menyambangi masjid Lautze, Selasa (4/6). Kepada perwakilan mahasiswa AS itu, Ali mengatakan di masa lalu ada masalah antara masyarakat Indonesia dan etnis keturunan Cina.
Masalah itu selanjutnya berdampak pada interaksi umat Islam dan etnis keturunan Cina. "Mereka yang keturunan etnis Cina merasa tidak nyaman ketika mereka menyambangi masjid-masjid yang ada ketika hendak mencari informasi tentang Islam dan Muslim. Itu terjadi sebagai dampak dari masalah tersebut," kata dia.
Karena itulah, lanjut dia, Masjid Lautze dibangun. Masjid ini selanjutnya menjadi jembatan komunikasi yang terganggu. Seiring perjalanan waktu, dakwah masjid tidak hanya sebatas etnis keturunan Cina tapi siapa saja yang hendak mempelajari Islam. "Islam itu tidak membeda-bedakan etnis. Jadi, siapapun boleh shalat di sini. Keliru bila masjid ini khusus etnis keturunan Cina saja," kata dia.
Ditanya apakah Islam dan Cina berbeda, Ali mengatakan secara budaya Islam dan Cina memiliki kesamaan. Dalam satu contoh, soal menghormati orang tua. Dalam budaya Cina, adalah kewajiban seorang anak berbakti kepada orang tuanya. "Di Islam justru lebih keras lagi. Islam melarang seorang anak berkata 'ah' pada orang tuanya. Itu wujud ajaran Islam untuk mencetak anak saleh, atau dalam istilah budaya Cina anak berbakti," kata dia.