Kamis 30 May 2013 01:49 WIB

Manifestasi Shalat untuk Perubahan (Bagian-2, habis)

Seorang pria shalat di Masjid Istiqlal, Jakarta.   (ilustrasi)
Foto: Antara
Seorang pria shalat di Masjid Istiqlal, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul

Kesalehan shalat mestinya termanifestasikan secara baik di kehidupan sehari-hari.

Sikap khusyuk timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kepada Zat Yang Mahakasih dan Mahadahsyat. Orang yang memiliki sikap seperti ini akan berupaya memusatkan seluruh pikiran--seluruh keberadaannya--kepada Kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa saja yang selain Allah.

Maknanya adalah kehadiran hati. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda: “Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya hati.”

Diriwayatkan pula, “Dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1000 rakaat shalat orang yang tak peduli.”

Kepada Abu Dzar, Rasulullah saw mengajarkan: “Dua rakaat shalat pendek yang disertai dengan tafakur adalah lebih baik dari shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai.”

Izzat menyatakan, khusyuk dan kehadiran hati masihlah kurang. Shalat masih harus dibarengi dengan zakat. “Shalat tidak sempurna melainkan dengan zakat.” Inilah kiranya hikmah di balik penjajaran ibadah shalat dengan membayar zakat di banyak ayat-ayat Alquran.

Dapat disimpulkan, shalat yang benar memiliki baik dimensi individual maupun sosial. Banyak orang menunjuk kenyataan, shalat dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam menyimbolkan kedua dimensi ini.

Takbir yang dihayati merupakan perwujudan khusyuk, yakni kesadaran penuh bahwa Allah Mahaagung dan bahwa kita adalah hambanya yang rendah dan kecil.

Sedangkan salam, khususnya salam kepada manusia, adalah simbol bagi keharusan menjalankan fungsi kekhalifahan manusia untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh bagian alam semesta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement