Selasa 28 May 2013 10:08 WIB

Hukum Komisi Transaksi

Transaksi menggunakan dinar dan dirham (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Transaksi menggunakan dinar dan dirham (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb

Ustaz, apakah boleh menerima komisi dalam Islam, seperti ketika membantu menjualkan mobil atau rumah, baik secara profesional ataupun dengan saudara dan kerabat dekat saja? Mohon penjelasannya.

Masruroh - Palembang

Waalaikumussalam wr wb

Dari sisi ekonomi Islam, membantu menjualkan atau membelikan barang untuk seseorang atau perusahaan disebut dengan istilah samsarah (broker), yang berarti menjadi perantara antara penjual dan pembeli.

Orang yang menjadi perantara itu disebut simsaar. Ia disebut juga sebagai penunjuk (dallal) karena dialah yang menunjukkan dan mencarikan untuk si penjual orang yang mau membeli barangnya dan mencarikan untuk si pembeli orang yang menjual barang yang dibutuhkannya.

Pada dasarnya, pekerjaan samsarah dan upah atau komisi dari transaksi pekerjaan itu dibolehkan karena mendatangkan manfaat bagi pembeli, penjual, dan simsaar itu sendiri.

Samsarah ini banyak dibutuhkan orang karena banyak yang tidak tahu cara melakukan tawar menawar (negosiasi) dalam jual beli. Tidak sedikit pula orang yang tidak mampu mencari dan meneliti spesifikasi dan kualitas barang yang hendak dibelinya.

Atau tidak punya waktu untuk melakukan sendiri proses jual beli yang hendak dilakukannya. Di sinilah diperlukan seorang simsaar.

Imam Malik ketika ditanya tentang upah bagi simsaar  menjawab, “Hal itu tidak apa-apa.” Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya membuat bab sendiri tentang upah samsarah dan menjelaskan bahwa Ibnu Sirin, Atha', Ibrahim al-Nakh'I, dan Hasan al-Bashri mengatakan, upah atau komisi untuk simsaar itu tidak apa-apa.

Para ulama memasukkan masalah samsarah ini pada pembahasan ji'alah (upah yang didapatkan oleh seseorang karena suatu pekerjaan yang dilakukannya) yang disepakati kebolehannya.

Ini sesuai dengan firman Allah SWT. “Penyeru-penyeru itu berkata, 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.'” (QS Yusuf [12] : 72).

Dalam ayat di atas, para pegawai Nabi Yusuf mengatakan, barang siapa yang dapat menunjukkan di mana letak piala raja yang hilang, akan mendapatkan imbalan berupa makanan seberat beban unta.

Ini merupakan bentuk ji'alah, yaitu menjanjikan upah kepada seseorang jika ia melakukan apa yang dimintakan kepadanya.

Tentu saja komisi akan menjadi haram jika diterima oleh seseorang yang telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya, seperti seorang pegawai pengadaan barang atau pejabat terkait yang mendapatkan komisi dari vendor atau suplier perusahaan atau lembaga negara.

Sebagaimana banyak terjadi di kalangan elite negara dan pejabat BUMN yang menerima komisi berbagai proyek, yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan tidak efisiennya proyek-proyek pemerintah. Seperti, proyek pengadaan Alquran dan impor daging sapi yang baru-baru ini terjadi.

Seorang simsaar (perantara) harus memenuhi beberapa syarat untuk boleh melakukan samsarah tersebut. Pertama, ia haruslah orang sudah berpengalaman di bidangnya agar tidak membahayakan kedua belah pihak, yakni pembeli dan penjual.

Kedua, ia harus jujur, tidak menipu salah satu pihak demi keuntungan pihak yang lain. Ia harus menjelaskan kelebihan dan kekurangan barang atau produk yang hendak ditransaksikan tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi.

Ketiga, ia tidak boleh menjadi perantara untuk menjual atau membeli sesuatu yang tidak halal untuk diperjual-belikan, dimiliki, atau diambil manfaatnya.

Berdasarkan itu maka boleh menerima komisi atas perbuatan menjualkan atau membelikan barang untuk seseorang, baik dilakukan secara profesional maupun hanya sebatas kerabat dan teman asalkan memenuhi syarat-syarat di atas. Wallahu a'lam bish shawwab.

Ustaz Bachtiar Nasir

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement