REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini, pengobatan alami sangat digemari masyarakat. Mereka memilih herbal ketimbang obat-obatan kimia. Thibbun nabawi yang bersifat alami pun kemudian menjadi daya tarik masyarakat.
Namun, tak sedikit pula yang salah mengartikan thibbun nabawi merupakan segala obat dari Arab. Atau, thibbun nabawi sama dengan praktik alternatif.
Perlu diketahui, segala jenis thibbun nabawi merupakan yang pernah disebutkan oleh Rasulullah saja. Jika kemudian muncul obat dari bahan alami, tapi tak pernah disebut Rasulullah, itu bukan bagian dari thibbun nabawi. Meski khasiatnya mujarab setelah diuji penelitian, jika tak pernah disebut oleh Rasulullah, itu bukan bagian dari wahyu yang diyakini sepenuhnya bermanfaat sebagai obat.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan, pengobatan ala Nabi diyakini mendatangkan kesembuhan karena bersumber dari wahyu, sedangkan pengobatan yang lainnya kebanyakan berdasarkan praduga dan eksperimen.
Kendati demikian, bukan berarti Muslimin tak diizinkan menggunakan obat-obatan modern. Hanya saja, thibbun nabawi hendaknya selalu diutamakan. Ibnul Qayyim dalam "Thibbun Nabawi" mengatakan, para tabib sepakat ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan, jangan beralih pada obat-obatan kimia. Ketika memungkinkan mengonsumsi obat yang sederhana, jangan beralih memakai obat yang kompleks.
"Mereka para tabib mengatakan setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan dan tindakan preventif tertentu, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan," ujarnya.
Selain itu, Muhammad juga diutus sebagai Rasul, bukan tabib. Meski Rasulullah menganjurkan banyak obat, dia bukanlah peracik obat. Rasulullah hanya menyampaikan wahyu dan memberikan suri teladan bagi Muslimin. Sahabat Sa'ad menceritakan, suatu hari ia menderita sakit, kemudian Rasulullah menjenguknya. "Rasulullah meletakkan tangannya di dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau," ujar Sa'ad.
Rasulullah pun kemudian bersabda, "Sesungguhnya engkau menderita penyakit jantung, temuilah al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan, hendaknya dia (al-Harits) mengambil tujuh buah kurma ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya," hadis riwayat Abu Dawud.
Dalam ilmu kedokteran modern, thibbun nabawi pun tidaklah bertentangan dengan pengobatan modern. Justru dalam sejarah, ilmu kedokteran modern merupakan perkembangan yang tak luput dari thibbun nabawi. Warisan ilmu thibbun nabawi dari Rasulullah diabadikan dalam kumpulan hadis oleh Imam Bukhari dalam kitab At-Thibb An-Naby. Kitab tersebut berisi lebih dari 80 hadis yang berkaitan dengan ilmu kedokteran. Kedelapan puluh hadis tersebut membicarakan ilmu kedokteran modern, seperti embriologi, anatomi, fisiologi, dan patologi. Pada masa perkembangan Islam, mulai bermunculan penerjemahan buku kedokteran dari Persia, Yunani, dan India. Metode yang ada kemudian dibersihkan dari unsur harap dan memadukannya dengan metode pengobatan Islami, yaitu metode pengobatan ala Nabi.
Ilmu kedokteran pun makin berkembang seiring kemajuan dunia Islam. Sekolah dan rumah sakit berdiri, dokter-dokter Muslim pun lahir, di antaranya Ibnu Sina. Ia menghasilkan kitab terbaik dalam sejarah ilmu kedokteran bertajuk Al Qonun fith Thibb (Canon of Medicine).
Buku ini menjadi rujukan utama para dokter di Eropa. Tak hanya Ibnu Sina, banyak dokter Muslim lain, seperti Ibnu Maimun yang mengembangkan ilmu kedokteran jiwa, Kahin al-Aththor sang ahli farmasi, Ibnu Zuhr dan al-Quff yang mengembangkan ilmu kedokteran, dan masih banyak lagi.
Namun, ketika masa kejayaan Islam mulai runtuh, Eropa menguasai dunia. Karya-karya Islam diakui sebagai karya Eropa. Namun, Muslimin hanya berdiam diri menerima pahit kemunduran dunia Islam. Bangsa Barat pun kemudian mengembangkan hasil karya para Muslim hingga ilmu kedokteran begitu maju sampai kini. Benar ucapan Imam asy-Syafi'i atas kelalaian Muslimin tersebut. "Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu dan menyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.