REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
Dalam sebuah berita di media massa, saat ini banyak anak pejabat dan kepala daerah yang berlomba-lomba menjadi calon anggota legislatif.
Jabatan publik seperti anggota legislatif sepertinya menjadi jabatan turun temurun di negeri ini yang diperebutkan. Dari sisi peraturan perundang-undangan sebenarnya sah-sah saja. Namun secara etika, sungguh tidak pantas jabatan publik dilakukan secara turun temurun.
Dalam koridor Islam, jabatan merupakan sebuah amanah yang harus dijaga dan diminta pertanggungjawabannya kelak.
Jabatan merupakan amanah dan pengabdian bukan untuk mencari ketenaran serta menumpuk kekayaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdurrahman bin Samurah:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).”
Dalam sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan Abu Dzar Al-Ghifari. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?”
Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut. ” (Shahih, HR. Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim. ” (Shahih, HR. Muslim).
Memang, pada dasarnya, setiap manusia menginginkan menjadi pemimpin yang memiliki sebuah jabatan penting. Terlebih saat ini jabatan publik seperti anggota legislatif dijadikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari).
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ‘calon pemimpin’ dibidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye, dan sebagainya.
Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Semoga saja itu tidak terjadi di Indonesia, negeri tercinta.