Rabu 24 Apr 2013 19:33 WIB

Sentilan Ahok 'Sentilun' Kita

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Foto: Republika/Adhi W
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH Said Aqiel Siroj*

Kafir itu luka. Banyak orang tak mau dirinya dikatai kafir. Biar sekelam apa pun iman atau akhlak seseorang, akan terluka bila diserapahi sebagai kafir.

Tapi, buat Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, Wagub DKI, kata-kata “kafir” tampil enjoy-enjoy saja, tidak menjadi istilah “seram” yang patut dihindari. “Silakan cap saya ini sekuler, kafir nomor satu, paling bejat,” begitu ungkapan yang meluncur saat seminar kesehatan di Rumah Sakit Husada, Jakpus.

Ceritanya —maaf saya hanya membaca dari laman internet— diberitakan beberapa waktu lalu, kata-kata Ahok ini mengemuka saat ia menanggapi saran salah satu peserta seminar tentang perlunya prioritas memperbaiki moral aparat birokrasi. Sontak, Ahok mengeluarkan “jurus” untuk menjawab kritikan tersebut dengan menyatakan bahwa dia lebih mementingkan penyelamatan nyawa seorang pasien daripada memperbaiki akhlak pejabat atau bawahannya di Pemda DKI.

Pernyataan Ahok ini cukup mengejutkan dan bagi sebagian orang akan memompa “denyut” keberagamaannya. Kata-kata ini dipandang bernuansa emosional yang sebaiknya tidak perlu diungkapkan, apalagi oleh seorang pejabat dan didengar banyak peserta acara seminar, lalu dilansir oleh media massa.  

Begitukah? Jangan keburu menvonis dulu. Kita jadi merinding, di negeri ini, kata-kata dan tulisan bisa menjadi bumerang yang bisa melahirkan “fatwa heboh”. Kata-kata yang terungkap —mencuplik filsuf Ludwig Wittgeinstein— selalu berada di arena language game (permainan bahasa). Ia bisa berwujud bahasa berdoa, perintah, makian, atau lelucon.

Istilah kafir agaknya menarik untuk kembali dibincangkan. Kata-kata kafir bisa dilihat dari sisi laten dan manifes. Secara laten, istilah “kafir” memang termaktub dalam teks-teks keislaman. Ia menjadi instrumen “pembacaan” untuk membedakan antara mereka yang mau mengimani ajaran agama, dengan mereka yang ingkar atau mengabaikan ajaran agama.

Secara manifes, ungkapan “kafir” yang menyeruak lagi di masyarakat, mewujud dalam label-label bid’ah, syirik, tagut, dan kafir itu sendiri. Dalam hal ini, tentu saja secara khusus saya hanya mengamatinya di kalangan umat Islam. Sebenarnya, jamaah-jamaah yang suka mengafirkan kelompok lain (takfir) sudah lahir sedari dulu.

Yang awal-awal kita bisa contohkan, munculnya kelompok Khawarij. Apa pula di Arab Saudi, seorang ulama dengan tandasnya mengafirkan ulama lain hanya karena ulama yang dikafirkan itu membolehkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Di negeri kita pun nyaris sedang panen pengkafiran, lewat ungkapan bid’ah dan syirik yang gampang sekali terlontar untuk menyebut amalan-amalan sesat kelompok lain.

Masing-masing kelompok berpegang pada pendirian bahwa mereka yang paling benar dan karenanya bebas dari sebutan kafir. Barang kali, hanya kelompok sufi saja yang enggan mengklaim kebenaran dan bahkan bersedia untuk “dikafirkan”, terutama bagi sufi-sufi yang mengamalkan Tarekat Malamatiyah, yaitu mereka lebih suka dicela daripada dipuji.

Ada ungkapan yang menggelitik dari filsuf Muslim asal Pakistan, Muhammad Iqbal, bahwa kafir yang aktif lebih baik dari pada Muslim yang hanya suka tidur. Dalam ungkapannya itu, istilah “kafir” menjadi “bermartabat”, tanpa terpaku semata secara biner dan hitam-putih.

Namun, lagi-lagi penyebutan “kafir” tetaplah sebagai sesuatu yang sensitif. Walaupun penelaahan hal ihwal “kafir” seperti terpapar dalam kajian keislaman memiliki penafsiran yang tidak tunggal. Kalau toh dipandang tafsir tunggal, hal ini terkait dengan makna baku dari istilah “kafir” yang intinya mengingkari kebenaran.

Maksudnya, bahwa kandungan makna “kafir” telah diperluas. Ada yang memaknai “kafir” sebagai bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Nisbahnya seperti pemaknaan istilah jihad yang tak hanya dipersempit dengan makna angkat senjata, tetapi juga jihad dalam bentuk lain, seperti menyantuni orang miskin dan banyak lainnya. Istilahnya sekarang, humanist jihad dan eco political jihad.

Nah, lontaran kata-kata Ahok tak perlu ditafsir secara berlebihan. Yang lebih menyentuh dan berharkat, kita hanya mendambakan perlunya ucapan yang lebih “lembut” (qaulan layyinan) agar tidak terjadi bias tafsir dan reaksi yang tak patut. Keterusterangan tak mesti diungkapkan melalui sikap yang berkobar-kobar. Perbuatan nyata lebih baik dari pada ucapan belaka. Urusan membangun bangsa janganlah abai terhadap pembangunan agama dan moralitas.

Seiring itu, ungkapan Ahok pantas pula menjadi cambuk yang menyayat-nyayat kesadaran kita, sehingga kita bersedia lapang dada, terbuka, dan inklusif untuk selalu autokritik terhadap keberagamaan kita. Kita belajar dari banyak fakta, mereka yang beragama, tapi korupsi dan bermoral rendahan. Ini terus menjadi tanda tanya besar. Sejatinya, keberagamaan seseorang seharusnya menjadikannya lebih disiplin, gigih dalam bekerja, amanah, dan bertanggung jawab.

Kembali mengulang, “kafir” itu secara harfiah bermakna sebagai sesuatu yang tertutup. Maka, tak berlebihan jika  orang yang mengaku beragama, tetapi tidak bermoral, tidak tanggap, tidak peduli, dan tidak disinari niat tulus mengabdi demi kemashlahatan masyarakat luas, dianggap telah “tertutup” kediriannya. Dan, lantaran itu, silakan cap dia “kafir”.

Penulis: Ketum PBNU

sumber : Harian Republika, Senin, 08 April 2013. Halaman 4
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement