Rabu 17 Apr 2013 10:48 WIB

Islam Seremonial

Jamaah haji saat wukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi (ilustrasi).
Foto: Antara
Jamaah haji saat wukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini*

Manusia disebut sebagai makhluk yang gemar mengadakan festival (homo festivus). Hidup tidak hanya diisi dengan bekerja, tetapi juga berpesta. Bagi sebagian orang, festival bahkan merupakan acara yang sangat dipentingkan. Mulai festival non-religius hingga yang bersifat religius.

Lihat saja ketika Ramadan. Aroma festival begitu terasa sejak memasuki bulan suci ini. Spanduk bertema semangat menyambut Ramadan terpampang dimana-mana. Di desa, ada tradisi ater-ater, yaitu berkirim makanan ke keluarga yang lebih tua. Demi tradisi berbalut gengsi itu, orang rela merogoh biaya besar. Makanan lezat dan mewah seolah menjadi jaminan berlipatnya pahala di bulan itu. 

 

Beragam festival lain semakin terasa di tengah Ramadan. Puncaknya, pada Hari Raya Idul Fitri. Tradisi lebaran penuh nuansa basa-basi. Sesama tetangga atau rekan kerja saling berkunjung dan bersalaman, tetapi hati masih menyimpan dendam. Yang muncul sekadar senyum hampa, diiringi jor-joran pakaian dan makanan.

Juga dalam ibadah haji. Orang merasa “lebih Islam” ketika sudah berhaji. Meski tidak ada beda antara sebelum dan sesudah bergelar haji, tetapi tetap berulang kali ke Tanah Suci. Menjelang pergi haji, rajin shalat berjamaah di masjid, sepulang haji, jamaah di masjid pun berhenti.

 

Itulah Islam seremonial. Festival digelar seolah untuk membeli pahala Tuhan. Dan tradisi festival semakin marak di kalangan berharta. Mereka menyumbang panti yatim atau panti jompo. Ribuan bahkan jutaan rupiah dikeluarkan. Tidak jarang sambil mengundang wartawan dan berkomentar sana-sini soal sumbangannya. Mereka lupa bahwa kebaikan semacam itu tidak bernilai di mata Allah.

“Hai orang-orang beriman, jangan kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadi bersih. Mereka tidak memiliki sesuatu pun dari usahanya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (Qs Al-Baqarah: 264).

Beragama secara demikian juga mengindikasikan fenomena jalan pintas. Padahal Islam tidak bisa ditempuh dengan jalan pintas. Mengadakan festival bersifat religius itu harus tetap diikuti ibadah secara berkelanjutan. Ada riwayat yang menarik direnungkan. Aisyah pernah bertanya, “amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Rasulullah menjawab, “amalan yang paling langgeng meski sedikit”. Beliau lalu bersabda, “maka kerjakanlah amalan (yang baik) semampu kalian” (HR Al-Bukhari).

Dengan demikian, Islam menekankan amalan yang dikerjakan secara konsisten, meski sedikit. Tentu amalan yang jelas sumbernya. Sebab banyak orang sibuk dengan amalan yang dianggap sunnah tetapi tidak jelas dasarnya. Sementara yang jelas dasarnya justru ditinggalkan.

Mari simak sabda Rasulullah. “Dan tidaklah hamba-Ku mendekat pada-Ku dengan sesuatu yang amat Aku cintai lebih daripada apabila ia melakukan apa yang Aku wajibkan. Dan tidaklah hamba-Ku mendekat pada-Ku dan melakukan hal-hal sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku akan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, Aku akan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk mengambil, dan Aku akan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Andaikan ia meminta sesuatu pada-Ku, pasti Aku beri dan andaikan ia memohon perlindungan pada-Ku, pasti Aku lindungi” (HR Al-Bukhari).

Sesuai hadis qudsi di atas, maka cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan memenuhi yang wajib, baru yang sunah. Ibadah sunah tidak boleh mengalahkan ibadah wajib. Menjalankan sunah dengan mengabaikan wajib ibarat menyulam kain yang rapuh. Terlebih jika terlalu gemar melakukan amalan yang tidak jelas muasalnya dan meremehkan amalan yang jelas perintahnya. Yang demikian justru tanpa sadar melemparkan pelakunya ke dalam kesesatan.

Penulis: Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement