REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb
Ustaz, jika seorang ayah sudah meninggal, apakah rumah warisan harus cepat dijual? Bagaimana jika ibu tidak mau menjual karena tidak mau pindah ke rumah yang kecil dan tidak layak huni karena dapat bagiannya memang sedikit.
Apakah benar seorang ibu tidak boleh menahan-nahan hak anaknya? Maksud ibu, jangan dijual sekarang, tapi nanti jika dia sudah wafat. Sedangkan, anak-anaknya mau cepat karena mereka membutuhkan uang. Mohon penjelasannya.
Sumarni W - Jakarta
Waalaikumussalam wr wb
Islam adalah pandangan sekaligus jalan hidup (dien) manusia. Islam tak selaras dengan ideologi materialisme, kapitalisme, atau sosialisme.
Islam adalah jalan hidup pertengahan (wasathiyah) yang mengakui hak-hak individu dan menjamin kepemilikan harta seseorang berdasarkan nilai-nilai etika Ilahiah (akhlaq al-karimah).
Dengan kematian seseorang maka ketika itu juga hartanya menjadi harta warisan yang menjadi hak masing-masing ahli waris sesuai dengan apa yang telah ditentukan Allah SWT dalam Alquran.
Yang berarti, semua ahli waris mempunyai hak atas harta peninggalan si mayit itu setelah dikurangi biaya pengurusan si mayit, melunasi utang-utangnya, melaksanakan wasiat maksimal sepertiga dari total hartanya, menunaikan nazar, mengeluarkan zakat harta (jika si mayit tidak pernah menunaikan zakat hartanya), kaffarat, dan kewajiban lainnya.
Seseorang tidak berhak menghalangi ahli waris untuk mendapatkan haknya, termasuk seorang ibu sekalipun. Dan, tidak boleh juga seorang ahli waris menguasai sendiri harta warisan tersebut tanpa persetujuan ahli waris yang lain.
Rasulullah SAW bersabda, “Berilah ahli waris hak-haknya dan sisanya untuk kerabat laki-laki yang terdekat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut menegaskan agar menyegerakan pembagian warisan jika ada sebagian ahli waris yang membutuhkannya. Maka, menjadi kewajiban bagi ahli waris yang lain untuk memberikan bagiannya sesuai hukum kewarisan Islam.
Pembagian harta warisan boleh ditunda jika ada maslahat syar'i yang membenarkan penundaannya. Dengan catatan, penundaan itu atas persetujuan semua ahli waris dan setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris agar diketahui pertumbuhan dan penyusutan harta itu sehingga tidak seorang pun yang dizalimi.
Perbuatan zalim adalah salah satu dosa besar yang diancam dengan azab yang pedih. Rasulullah SAW bersabda, “Takutlah terhadap perbuatan zalim karena kezaliman itu adalah kegelapan di atas kegelapan pada hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Mekanisme perhitungan di akhirat nanti akibat kezaliman akan sangat membahayakan pelakunya. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apa pun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak berguna lagi dinar dan dirham. Jika dia memiliki amal saleh akan diambil darinya sebanyak kezalimannya. Dan, jika dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya.” (HR Bukhari).
Di sisi lain, menunda pembagian harta warisan itu juga dapat menyebabkan seseorang diangggap memakan harta saudara dan kerabatnya secara batil, atau menyebabkan seseorang memakan harta anak yatim secara zalim, yang keduanya adalah dosa besar.
Padahal, Allah SWT telah menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil .…” (QS al-Nisa` [4]: 29).
Penundaan itu juga akan menyebabkan perselisihan dan putusnya hubungan silaturahim antarkeluarga karena sebagian merasa dizalimi oleh saudara dan keluarganya sendiri.
Selain itu, penundaan pembagian harta warisan juga akan mempersulit pembagian harta tersebut pada masa yang akan datang, apalagi jika penundaan itu sampai bertahun-tahun, mungkin saja terjadi sebagian ahli waris ada yang meninggal.
Atau, juga disebabkan oleh pertambahan dan penyusutan nilai harta warisan tersebut sehingga kalau terlalu lama tidak dibagi maka akan semakin sulit untuk melacak dan menghitungnya secara benar dan akurat.
Sudah seharusnya seorang Muslim lebih memilih ketaatan terhadap semua hukum dan ketentuan Allah SWT dalam segala hal, termasuk dalam pembagian harta warisan daripada memilih kepentingan dirinya.
Padahal pilihannya itu bertentangan dengan hukum Allah SWT. Setiap kita harus meyakini bahwa di balik aturan Allah SWT itu ada kemaslahatan di dunia dan di akhirat.
Kepada ibu yang belum mengerti hal-hal berkaitan dengan hukum kewarisan Islam di atas maka kewajiban setiap anak untuk memahamkannya.
Atau, meminta bantuan seorang yang ahli untuk menjelaskan kepada seluruh ahli waris sebagai bentuk pertolongan secara ilmu dan pemahaman terutama kepada ibunda.
Namun, kepada anak-anak juga harus menyadari ibunda adalah orang yang wajib dimuliakan, disayangi, dan dibiayai apalagi jika ibunda tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Sangatlah mulia membalas kebaikan ibunda (birrul walidain) apalagi pada usia tuanya, tentunya jika telah diketahui bagian warisan masing-masing dari harga rumah warisan.
Akan bijaksana jika seluruh atau sebagian anak-anak bersepakat merelakannya untuk digunakan oleh ibunda. Dengan demikian, maka Allah akan berkahi harta mereka dan turunkan rahmat-Nya pada keluarga ini. Wallahu a'lam bish shawab.
Ustaz Bachtiar Nasir