REPUBLIKA.CO.ID, “Insya Allah saya ingin menjadi guru,” ungkap Wilda, siswi kelas 4 SD Inpres Ampiri sambil tersipu malu.
“Wilda sudah bisa membaca dan berhitung?,” timpal Darminto, tim survey dari BWA pada pertengahan Februari kemarin. “Bisa,” jawab Wilda tersenyum.
Maklum, hampir semua penduduk yang ditemui Darminto di Ampiri tidak mengerti bahasa Indonesia. Warga ini sedang merasakan gelapnya pengetahuan akibat sudah bertahun-tahun belum jua mendapatkan cahaya lampu dari listrik.
Putri sulung dari 3 bersaudara ini sudah setahun ditinggal orang tuanya merantau ke Malaysia. Karena tidak memiliki pendidikan dan keterbatasan ekonomi, orang tua Wilda berprofesi sebagai tukang kayu disana. Ia tinggal bersama kakek dan neneknya di Ampiri serta adik laki-lakinya yang baru duduk di kelas 1 SD, Wanda namanya. Sementara adiknya yang ketiga ikut bersama orang tuanya.
Untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya, Wilda biasa membantu neneknya, Imerri, membuat tikar pandan yang terbuat dari bahan banga atau daun pandan besar berduri. Nenek Imeri mengaku keahliannya dalam membuat tikar pandan ini sejak ia masih belia, ia belum pernah menikmati bangku sekolah. Tikar pandan yang berukuran 1,2 m x 2 m yang dibuatnya memerlukan waktu pembuatan selama 2 sampai 4 hari.
Di pasar, permintaan tikar pandan anyaman khas Ampiri yang diharigai Rp 40 ribu per lembar ini cukup banyak. Mungkin karena masa pakai tikar ini bisa bertahan cukup lama, sampai 4 tahunan. Tapi sayangnya, karena tidak adanya penggerak industri kreatif sektor ini, produksinya hanya selama bulan Agustus saja. “Ibu-ibu di dusun Ampiri mengerjakannya hanya untuk sampingan saja,” tutur Nenek Imerry yang diterjemahkan oleh Wilda.
Wilda, yang baru berusia 9 tahun-an ini merupakan satu dari beberapa orang warga Ampiri yang masih memiliki asa untuk masa depannya. Warga yang mampu mengenyam pendidikan hingga Sekolah Mengenah hanya hitungan jari. “Apalagi Perguruan Tinggi, yang mengerti bahasa Indonesia saja sedikit. Bahkan berhitung matematis juga tidak bisa, kecuali menjumlahkan uang,” ungkap Harianto Albarr, Partner Lapang BWA di Ampiri.
Harianto Albarr adalah salah satu putra daerah yang mampu mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Makassar ini bekerja sama dengan BWA untuk mengentaskan problematikan kegelapan di dusun Ampiri. Dusun terpencil di Kota Barru, Sulawesi Selatan yang kini sedang diproyeksikan akan dibangun pembangkit listrik mikrohidro oleh BWA.
Sarana Pembangkit Listrik Mikrohidro berdaya 50 kVA yang akan dibangun ini diharapkan akan mampu menerangi seluruh rumah penduduk Ampiri. Dan juga dapat meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Sehingga ekonomi warga dusun Ampiri bergerak. Seperti dalam mengolah hasil pertanian dan industri kreatif yang mereka hasilkan bisa segera dijual ke kota. Klik disini untuk donasi!