Selasa 05 Mar 2013 09:40 WIB

Rayakan Ultah, Bolehkah?

Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD (tengah) meniup lilin saat perayaan ulang tahun di MK, Jakarta, Jumat (13/5).
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD (tengah) meniup lilin saat perayaan ulang tahun di MK, Jakarta, Jumat (13/5).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Nashih Nashrullah

Hadiah kado, kue tar lengkap dengan aksesoris lilin, iringan lagu ulang tahun, pernak-pernik menghiasi ruangan, mulai dari balon, pita, dan hiasan warna-warni merupakan pemandangan yang banyak ditemui saat perayaan hari jadi seseorang digelar.

Tak ada data pasti, asal-usul dan kapan tradisi peringatan kelahiran itu mulai marak berlangsung. Yang jelas, kemunculannya di Dunia Islam lumayan menyedot energi para cendekiawan dan pegiat fikih masa kini.

Lihat saja di Arab Saudi. Polemik ini pernah mengemuka dan menjadi diskusi hangat. Ini setelah salah seorang cendekiawan dari Tanah Haram tersebut mengeluarkan pernyataan tentang bolehnya mengadakan perayaan hari ultah.

   

Pendapat ini disampaikan cendekiawan Muslim kelahiran Buraidah, Qasim Arab Saudi, Syekh Salman bin Fahd bin Abdullah al-Audah. Tokoh yang berulangkali dicekal Kerajaan Arab Saudi karena alasan politik itu, memandang perayaan ultah sah-sah saja digelar.

Tak hanya itu, kata Syeikh Salman, Si empunya hajat boleh pula mengundang kerabat dan handai tolan untuk menghadiri pestanya tersebut.

   

Aktivitas ini, sebut sosok yang diberhentikan dari tugas mengajar di Universitas  King Saud itu, yang digelar tiap tahun merupakan tradisi sehari-hari dan tidak termasuk ritual agama. Ia menyatakan, hukum yang sama juga berlaku untuk perayaan yang digelar pasangan suami isteri untuk memeringati hari pernikahan.

   

“Jadi jangan dipermasalahkan,”ujar tokoh yang kritis menentang kebijakan-kebijakan Kerajaan. Jangan samakan pula peringatan ini dengan hari raya keagamaan, yakni Idul Fitri dan Adha, imbuhnya.  

   

Pendapatnya ini mengundang kontroversi. Syekh Salman banyak mendapatkan kritik dan hujatan, termasuk dari sahabat dekatnya, seperti anggota Dewan Ulama Senior Arab Saudi, Syekh Abdullah bin Sulaiman al-Muni’. Ia menuding ijtihad yang dilakukan koleganya tersebut salah dan menyimpang. Apapun alasan yang dimukakan, tidak cukup kuat.

   

Perayaan ultah, jelas Syeikh Abdullah bin Sulaiman adalah budaya non-Muslim yang datang dari Dunia Barat. Semestinya, tidak begitu saja menelan mentah-mentah tradisi tersebut. Jika mudah mengekor, ini berarti apa yang diwanti-wantikan Rasulullah SAW terbukti.

   

Dalam riwayat Bukhari Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri Rasul menyatakan, akan datang generasi umat yang mengikuti tradisi Yahudi dan Nasrani. Saking fanatiknya, jika generasi itu disuruh memasuki sarang biawak pun nisacaya akan ditempuh.

   

Syekh al-Muni’ yang menjadi penasehat syariah Administrasi Kerajaan Arab Saudi ini menyebut fatwa yang dikeluarkan Syekh Salman itu bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama.

   

Syekh al-Muni’ membeberkan antara lain pendapat Ibnu Taimiyyah di kitab //Itiqdha fi ash-Shirath al-Mustaqim//, Ibn al-Jauzi, serta sejumlah ulama masa sekarang seperti Syekh Abdullah bin Baz dan Syekh al-Utsaimin. Pendapat Syekh Salman dianggap pula berseberangan dengan keputusan Lembaga Kajian Tetap dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. 

   

Landasan secara umum yang dijadikan dasar pelarangan perayaan ultah oleh mereka ialah dalil tentang larangan bidah. Dan, tentunya tak ketinggalan kecaman akan keberadaan generasi Muslim yang cenderung “copas” dengan budaya non-Muslim. Argumentasi yang sama juga dipakai Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta’) Libia.

 

Selain dalil di atas, lembaga fatwa resmi negara yang pernah dipimpin Muammar al-Qadzafi itu, mengemukakan Islam hanya mengenal dua perayaan, yaitu Idul Fitri dan Adha. Karena itu, tak boleh menyelenggaraan perayaan ultah, meski dengan konsep sederhana. Alasannya, indikasi pengharaman ialah penyerupaan terhadap kebiasaan yang berlaku di kalangan non-Muslim. 

   

Namun, tampaknya tak semua sepakat dengan lembaga fatwa resmi kedua negara di atas, yaitu Arab Saudi dan Libia. Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta’) Mesir mengeluarkan keputusan yang membolehkan perayaan ultah.

   

Menurut lembaga yang kini dipimpin Mufti terpilih yaitu Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu, peringatan ultah merupakan bentuk rasa syukur manusia atas nikmat kelahiran. Allah SWT memberikan nikmat tersebut agar dipergunakan semaksimal mungkin.

Ucapan rasa syukur atas nikmat kelahiran itu  pernah diisyaratkan melalui lisan Nabi Isa AS. “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam [19: 33). 

   

Langkah serupa pernah dilakukan Rasulullah SAW saat berpuasa pada Senin. Tujuan puasa Rasulullah di hari tersebut, merupakan wujud terima kasih kepada-Nya yang lahir pada hari itu. Ini seperti tertuang di hadis Muslim dari Abu Qatadah al-Anshari.

   

Namun, Lembaga ini menggarisbawahi beberapa hal penting yang perlu diperhatikan yaitu hendaknya tidak menganggap ini sebagai perayaan keagamaan, jauhi perkara haram dan maksiat, dan segala hal yang dilarang oleh agama selama perayaan ultah itu dielar.

   

Menggelar pesta dengan mengundang handai tolan pun tak jadi soal. Ini adalah bentuk upaya berbagai kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan untuk sesama Muslim termasuk amalan yang dianjurkan. Ini seperti penegasan hadis riwayat Abu Hurairah. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement