Ahad 27 Jan 2013 06:28 WIB

Mencari Nafkah di Bank Riba, Bolehkah?

Bank Sentral Spanyol
Foto: Reuters
Bank Sentral Spanyol

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb

Ustaz, kalau seseorang yang sedang menempuh pendidikan S-2 di jurusan ekonomi syariah bidang investasi, tapi ‘pasrah’ untuk menjadi pemeriksa bank konvensional, apakah pekerjaannya termasuk sia-sia?

Maknila Karawang

Waalaikumussalam wr wb

Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, sungguh kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, di pagi hari ia keluar dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad, al-Nasa`i, al-Hakim, dan al-Baihaqi). Allah SWT sudah mencukupkan rezeki-Nya untuk semua manusia sebelum manusia ada.

Mengapa pelaku riba pada masa lalu masuk kategori ‘hirabah’ (memerangi Allah, Rasul-Nya, dan al-Islam)? Dan pelakunya dilaknat bahkan diancam dengan hukuman mati? Karena ekonomi Islam saat itu berada dalam kemakmuran, pengetahuan umat tentang syariat ekonomi Islam pun baik, serta didukung praktisi ekonomi syariah yang menyejahterakan dengan rasa dan tindakan yang berkeadilan.

Saat ini, gurita kapitalisme global dengan doktrin materialismenya menjerat kuat. Kondisi perekonomian umat tidak terlalu baik, pengetahuan umat seputar riba juga sangat awam, praktisi ekonomi syariah yang mumpuni secara akidah dan syariah sahih masih sangat minim. Dalam kondisi seperti ini bukan berarti laknat dan ancaman Allah diangkat dari pelaku riba.

Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Rasulullah melaknat pemakan harta riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, penulis riba, dan dua orang saksinya. Dan ia mengatakan, ‘Mereka semua itu sama’.” (HR Muslim).

Dalam hadis ini, Nabi menjelaskan, tidak hanya orang yang bertransaksi riba yang mendapatkan laknat, tetapi juga penulis dan yang menjadi saksi akan transaksi itu.

Menurut jumhur ulama, bekerja di bank riba yang mempraktikkan riba dalam berbagai kontrak dan transaksinya, termasuk ke dalam golongan yang dilaknat Rasulullah dalam hadis riwayat Imam Muslim di atas. Itu pun termasuk bentuk tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran yang diancam siksaan yang pedih dari Allah.

Tetapi, jika dia termasuk fakir miskin, ia boleh menggunakan harta tersebut guna menutupi kebutuhan pokoknya dan menyerahkan sisanya untuk kepentingan umat secara umum.

Imam Nawawi dalam kitab al’Majmu menjelaskan, jika orang yang memiliki harta haram itu menyerahkannya kepada seorang fakir, harta itu tak lagi haram bagi si orang fakir tersebut.

Bila yang memiliki harta haram itu termasuk orang fakir, dia boleh memberikan harta itu bagi diri dan keluarganya karena jika keluarga yang jadi tanggungannya itu fakir, sifat fakir itu ada pada mereka, bahkan mereka lebih utama untuk diberikan, begitu juga dia boleh mengambil sekadar kebutuhannya karena dia juga fakir.

Sebagian ulama membolehkan seseorang bekerja di bank konvensional jika tak memperoleh pekerjaan di tempat lain. Tapi, dia harus tetap berusaha mencari kerja di tempat halal. Terkait kasus di atas, seharusnya ia berusaha sungguh-sungguh mencari pekerjaan di tempat lain atau menciptakan pekerjaan dan usaha sendiri.

Wallahu a’lam bish shawab.

Ustaz Bachtiar Nasir

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement