Kamis 24 Jan 2013 08:00 WIB

Khitan Perempuan: Antara Manfaat dan Mudharat

 Bayi yang lahir pada tanggal unik 12-12-2012
Foto: Antara/Septianda Perdana
Bayi yang lahir pada tanggal unik 12-12-2012

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ani Nursalikah

Di kalangan ulama kontemporer, praktik khitan pada perempuan menjadi perdebatan. Ada yang bersikap seperti MUI yang menganggapnya sebagai ajaran Islam meskipun sifatnya sunah, ada yang menganggap khitan perempuan bermanfaat untuk membatasi libido perempuan, ada yang menganggapnya hanya dibolehkan (mubah), sementara sebagian menganggapnya bukan ajaran Islam.

Pimpinan Pondok Pesantren Tazakka Batang, Jawa Tengah, KH Anang Rikza Mashadi, mengatakan dari segi syariah, tidak ada larangan dan tidak ada anjuran. Anang mengatakan hukum melakukan sunat pada perempuan adalah mubah atau boleh. Ia menyebut praktik semacam ini merupakan hal yang jamak dilakukan di Mesir.

Sedangkan mengenai manfaat khitan pada perempuan, menurut dia, kembali pada asumsi masing-masing. Namun, secara pribadi ia menganggap khitan bagi perempuan bermanfaat. ''Bermanfaat atau tidaknya harus dibuktikan secara medis,'' ujarnya saat dihubungi, Rabu (26/12). Anang sendiri, jika ada yang bertanya soal ini akan menyerahkan keputusan kepada orang tersebut.

Pada 2008, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara khusus mengkaji masalah itu. Wadah musyawarah para ulama zu'ama dan cendekiawan Muslim itu akhirnya menetapkan fatwa tentang hukum pelarangan khitan terhadap perempuan. ''Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam,'' ungkap Ketua Komisi Fatwa MUI KH Anwar Ibrahim dalam fatwa bernomor 9A Tahun 2008 itu.

Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Tentang adanya kekhawatiran khitan perempuan akan membahayakan perempuan dan bayi perempuan serta kesehatan reproduksi, dijawab ulama dengan anjuran batas dan tata cara mengkhitan.

Dalam fatwa itu, para ulama menegaskan, khitan perempuan tak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang bisa mengakibatkan dharar (bahaya). ''Khitan perempuan dilakukan cukup dengan menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris,'' papar KH Anwar Ibrahim.

Dokter Joserizal Jurnalis dari MER-C mengatakan sebenarnya tidak ada persoalan mengenai khitan pada perempuan di Indonesia. Yang dipersoalkan PBB adalah jenis khitan Fir'aun yang hingga saat ini masih dipraktikkan di negara-negara Afrika, seperti Sudan dan Mesir Selatan. Khitan jenis ini bahkan melukai klitoris. Hal tersebut jelas tidak diperbolehkan karena menyakiti kaum perempuan.

Sedangkan di Indonesia, yang dimaksud dengan khitan perempuan adalah melukai sedikit atau mengusap dengan kapas yang dibasahi cairan antiseptik. Praktik ini tidak hanya dilakukan dokter, tapi di daerah biasanya dilakukan dukun beranak atau bidan. ''Jadi ini jangan diperluas. Khitan ini bukan menyeluruh. Kementerian Kesehatan juga jangan menelan mentah-mentah peraturan PBB,'' ujar dokter yang kerap melaksanakan tugas di daerah rawan konflik di dunia.

Menurut dia, jenis khitan di Indonesia berbeda dan tidak bisa disamaratakan dengan negara lain. Jenis khitan inilah yang perlu dideskripsikan lebih lanjut. Kementerian Kesehatan juga diharapkan lebih cerdas menyikapinya. Terkait manfaat khitan ditinjau dari sisi medis, ia mengaku belum dapat memastikan. Namun, Joserizal mengingatkan karena praktik ini hukumnya sunah, sebaiknya diamini saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement