REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
Pada era kerasulan Musa, hidup seorang nabi bernama Khidir. Asal usulnya tak jelas. Ada yang mengatakan, ia merupakan keluarga Dzulqarnain, ada pula yang mengatakan, ia keturunan bangsa Persia dan Romawi. Beberapa menyebut, Khidir merupakan nama julukan dari pria kalangan biasa bernama Balya bin Malkan.
Entah siapa Khidir tersebut, sosoknya begitu misterius. Ia pun dikisahkan dalam sebuah perjalanan Musa yang penuh hal ajaib, luar biasa, dan tentunya penuh misteri.
Suatu hari, seorang dari Bani Israil menemui Musa dan kemudian bertanya, “Wahai Nabiyullah, adakah di dunia ini orang yang lebih berilmu darimu?” ujarnya. Tersentak, Nabi Musa pun jelas menjawab, “Tidak.” Tentu saja, siapa yang mampu menandingi ilmu Musa, utusan Allah kala itu. Sumber tuntunan agama dan sumber pengetahuan wahyu Allah ada di genggaman Musa. Ia memiliki Taurat dan beragam mukjizat dari-Nya.
Namun, rupanya Allah memiliki hamba lain selain Musa yang lebih berilmu. Allah pun mewahyukan pada Musa bahwa tak seorang pun di muka bumi yang mampu menguasai semua ilmu. Tak hanya Musa, di belahan bumi lain pun terdapat seorang yang memiliki ilmu luar biasa.
Ilmu itu tak dimiliki Musa sekalipun. Orang itu juga seorang nabi. Mengetahui hal tersebut, sontak Musa pun ingin berguru pada orang tersebut. Ia bersemangat ingin menuntut ilmu dan menambah pengetahuanya.
“Ya Allah, di mana orang ini bisa saya temui? Saya ingin bertemu dengannya dan belajar darinya,” tanya Musa antusias. Nabi Musa sendiri dikenal dengan keistimewaan sebagai nabi yang bisa berbicara langsung dengan Allah tanpa perlu perantara malaikat. Allah pun menunjukkan sebuah tempat di mana Musa dapat menemui orang berilmu tersebut.
Di pertemuan antara dua lautan, demikian lokasi ahli ilmu itu. Agar lebih yakin dan tak salah mengenali orang, Musa pun meminta tanda identitas orang tersebut. Allah pun memerintahkan Musa membawa seekor ikan dalam wadah berisi air. Ikan tersebut akan menunjukkan arah di mana keberadaan sang ahli ilmu Khidir.
Berangkatlah Musa menyusuri lautan, mencari keberadaan Khidir. Ia ditemani muridnya yang terkenal setia Yusya bin Nun. Yusya lah yang membawa bejana berisi ikan yang akan menghantarkan Musa pada Khidir.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, keduanya tak juga menemukan Khidir. Meski lelah, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. “Aku tak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun,” ujar Musa pada Yusya.
Perjalanan telah jauh, tapi Khidir tak juga dijumpai. Musa pun memutuskan untuk sejenak beristirahat di sebuah batu besar di tepi sungai. Kelelahan, Musa pun tertidur. Saat Musa terlelap, Yusya melihat ikan dalam bejana tersebut meloncat keluar dari bejana ke arah sungai. Tapi, Yusya lupa mengabarkannya pada Musa. Saat Musa bangun, keduanya pun melanjutkan perjalanan tanpa ingat panduan sang ikan.
Pejalanan melelahkan keduanya hingga mereka merasa lapar. Ketika Musa menanyakan bekal untuk makan, Yusya baru teringat pada si ikan. “Saat kita istirahat di batu tadi, sungguh aku benar-benar lupa mengabarkan tentang ikan itu.
Tidaklah yang melupakanku untuk mengabarkannya padamu kecuali syaitan. Ikan itu kembali ke laut dengan cara yang aneh sekali,” ujar Yusya. Musa pun langsung mengetahui itu adalah sebuah tanda, “Itulah tempat yang kita cari,” ujar Musa bersemangat. (bersambung)