REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Universitas Teesside, Inggris, mengeluarkan kebijakan baru yang isinya pendirian pusat studi ekstremis kanan dengan fokus peningkatan sentimen anti-Islam.
Pusat studi itu akan diresmikan akhir bulan ini, sekaligus menandai peringatan Holocaust. Pusat studi ini akan mengawali kiprahnya dengan menghadirkan dua pakar sayap kanan, yakni profesor Nigel Copsey dan Dr Matthew Feldman. Kedua akademisi ini akan mengungkap sejarah pergerakan kelompok sayap kanan di Inggris, berikut bahaya dan efek yang ditimbulkan kelompok tersebut.
Feldman, seorang sejarawan, mengatakan organisasi seperti Liga Pertahanan Inggris (EDL) sebenarnya tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memobilisasi banyak orang. Sifat pergerakan justru hanya sporadis saja.
"Anda tahu, mereka hanya mampu mengajak banyak orang untuk berdemonstrasi pada hari sabtu dan berteriak hanya dalam hitungan tahun. Setelah itu, aksi itu semakin berkurang, dan pada akhirnya berhenti sama sekali," kata dia seperti dikutip guardian.co.uk, Senin (14/1).
Namun, kata dia, yang perlu diperhatikan dalam pergerakan kelompok ini ada semacam pergeseran secara bertahap. Semula, organisasi sayap kanan lebih banyak memperjuangkan nasionalisme budaya. Selanjutnya, mereka mencoba lebih spesifik pada satu komunitas, yakni muslim. Pergeseran itu, selanjutnya membawa dukungan besar terhadap kelompok ini.
"Akan tetapi, elemen penting dari keberhasilan itu adalah internet. Mereka tidak lagi kesulitan untuk mengundang banyak orang," kata dia.
Feldman mengaku dirinya tidak ingin terlalu berlebihan dalam memberikan peringatan soal kelompok sayap kanan. Tapi, kasus Breivik merupakan tanda bahaya dari efek perubahan ini. "Pikirkan bagaimana EDL memulainya. Anda sekalian tahu muslim ambil bagian dalam perang salib. Lalu, anda memiliki nasionalis yang kemudian menjadi EDL lalu memerangi mereka. Saya kira akan ada ketegangan," kata dia.